Oleh H Syafruddin Saleh Sai Gergaji
Innaa lillaahi wa inna ilaiyhi rooji’uun
Sungguh sesungguhnyalah segala-galanya milik dan dari Allaah jua
Dan, kepada-Nya pula niscaya (di)kembali)kan semua-muanya
(Q.S. 2, al-Baqoroh: 156)
Kullu nafsin zaa-ikah al maut
Segala yang bernafsu, bernafas, berjiwa, dan bernyawa
Sentiasa pasti mengalami kematian jua
***
TANGGAL kelahirannya sama persis dengan anak bungsu si kembar kami Safari Al-Hamdan dan Safari Al-Hamdani, 5 Agustus, meski berselesih umur 60 tahun. Namun Hamdan nyawanya hanya beberapa menit saja, kembali ke pangkuan Ilaahi. Dani kini alhamdulilaah telah kuliah semester pertama di UIN Suska Riau. Begitulah sunnatullaah: semua yang bernafsu-berjiwa-ber-nafas-bernyawa pasti akan mengalami dan merasakan mati. (Q.S. 3, Ali ‘Imroon: 185; 21, al-An-biyaa’: 35; 29, al-Ankabuut: 57). Tak ada yang dapat menolak agar luput dari kematian, dan tidak ada yang mengetahui kapan Malaikat Maut menjemput: siap tak siap dia tetap menyergap, muskil berdegil menampik Izroil.
Begitu pulalah bagi diri Ridwan Ilyas. Usia 77,4 dia menghembuskan nafas terakhir. Lahir di Sigiran, Nagari Tanjungsani, Maninjau, Sumatera Barat, 5 Agustus 1938 – wafat di RSUP dr. M. Djamil, kota Padang, Kamis, 10 Desember 2015, pukul 16.20. Warta kematian sastrawan yang dikenal dengan nama pena Leon Agusta itu, dikabarkan melalui pesan singkat oleh Hermawan An kepada saya pada pukul 18.04, meneruskan berita dari putri almarhum, Julia F Agusta yang juga Ketua Leon Agusta Intitute. Jenazah disemayamkan di rumah duka, Bunguih, Taluakkabuang, Padang, sebelum dikebumikan, Jumat. Ketua DPH LAM Riau, YBH Dt. Al azhar pun mengabarinya, karena bagaimanapun kami pernah mengenal mendiang.
Sejak 2011, Leon memang sering gering bahkan beberapa kali dirawat di rumah sakit.
Walaupun begitu dia tak risau dan galau, dia sanggup mengurung murungnya. Semangat bersastranya tak turut surut. Meski usia tua dia tak merasa renta. April 2012 dia hadir pada diskusi “Hubungan Puisi – Jurnalistik” (sempena bedah buku kumpulan puisinya Gendang Pengembara yang baru saja terbit), di Universitas Multi Media (UMN) sebagai pembicara bersama Masri Sareb Putra dosen UMN yang juga penulis yang dimoderatori Ninik M. Kuntarto dosen universitas itu. (Leon memang pernah menjadi wartawan, di antaranya di SKH Haluan, Padang. Tentulah dia paham nian kait kelindan puisi dengan jurnalistik itu). Tahun yang sama, baru saja beberapa hari setelah dirawat di RS Cikini, Jakarta Pusat, malah membacakan puisi-puisinya pada pementasan Teater Puisi “Kapal Penyeberangan Hukla” di Taman Ismail Marzuki, kreasi kolaborasi Afrizal Malna, Jefri Andi Usman, dan Iwang Noorsaid dari kumpulan puisi Leon Agusta Hukla(1979). Menyampaikan pidato budaya “Kebudayaan Politik Demokrasi Tanpa Budaya Demokrasi” pada acara: ‘Puisi Esai Untuk Indonesia: Pidato Kebudayaan 2013 dan Peluncuran Delapan Buku Puisi Esai yang ditaja Jurnal Sajakyang Pemimpin Redaksinya Jamal D Rahman, 23 Februari 2013. Membacakan puisi bersama bebera-pa penyair lainnya di Taman Budaya Padang pada tutup akhir tahun 2014.
Riau, bukanlah rantau asing bagi Leon Agusta. Dia peranah menjadi guru di SGB Bengkalis, 1959. Beberapa masa di Pekanbaru, yang mungkin menjadi kenangan batin baginya karena di kota ini dia pernah dipenjara 7 bulan entah apa pasal. Di ibukota Provinsi Riau inilah saya mengenal penyair gagah bertubuh jangkung ini, pada penghujung 70-an, karena dia sering bertandang ke rumah Anjang Deghus Idrus Tintin ketika saya bergabung di Teater Bahana. Keluarga handainya pun hingga sekarang masih ada yang mukim di kota bertuah yang konon nakberubah menjadi kota metropolitan yang madani ini.