Monumen Kiprah Kesasteraan Leon
Aktivitas bersastra Leon Agusta telah sejak usia muda. Ini terbukti dari buku kumpulan puisinya yang pertama, Monumen Safari,terbit saat berumur 28, pada 1966. Dia bukanlah penyair ping-giran, karena pada 1968 saja dua kali puisi-puisi dimuat di mahajalah sastra Horison – yang dianggap sebagai tolok ukur penilaian kualitas mutualitas (ber)karya sastra (Edisi ke-3, Maret; dan edisi ke-12, Desember). Dia tak hanya menulis puisi tapi juga berteater dengan menjadi Pemimpin Bengkel Teater Padang, 1972. Kemudian terbit pula kumpulan puisi Catatan Putih, 1975.
Sebagai sastrawan yang berprestasi diindaksikan terpilihnya Leon mengikuti International Writ-ing Program diIowa University, Amerika Serikat (1976-1977) – saat dia sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yangmenghasilkan kumpulan puisinyaDi Sudut-sudut New York Itu (1977) yangsebagian di antaranya diterjemahkan ke bahasa Inggris. Makin produktif, Leon juga mengarang novel, Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978). Lantas, Hukla kumpulan puisi (1979), Berkemah dengan Putri Bangau kumpulan puisi anak-anak (1981), dan Hedona dan Masochi kumpulan cerpen (1984). Meski masih tunak bersastra, kemudian tak lagi ada karyanya yang terbit sebagai buku. Barulah pada 2012 terbit kumpulan puisinya Gendang Pengembara. Yang merupakan 200-an puisi-puisi pilihan dari sejumlah buku puisinya yang pernah terbit sebelumnya ditambah denyar beberapa puisi-puisi anyar, berkisar karya antara 1962-2011.
Leon seolah sengaja menerbitkan Gendang Pengembaraitu sebagai “monumen safari di bawah bayangan Sang Kekasih” mengharungi lautan kehidupan dengan “kapal penyeberangan hukla”, mendendangkan gendang pengembaraan menemukan makna rerahasia semesta menjadi satu “ca-tatan putih” perjalanan sholih memilah dan memilih untuk mengutip ‘Alif Allah’ dari kearifan slektif , yang lantas ditapis menjadi baris-bari puisi yang kholis ikhlas menyikapi hidup pada watas nafas. Saya nyatakan ini dengan asumsi, Leon menyadari pada usia 74 dengan penyakit asma, gula, dan infeksi paru-paru yang mendera tubuhnya sisa usianya tak lama lagi. Dia ingin kepingin meninggalkan kepingan kebijakan itu kepada anak-anaknya, keluarganya, dan semua-muanya – siapa pun dia. Merangkumnya menjadi monumen yang dikagumi tanpa ragum jarum sentimen.
Mantap dia berucap hidup tak layak tersekap: … Sudah diamanatkan bagiku: mengembara/ Bagi hasratku yang berjalan jauh// Hingga sudah biasa aku berpisah/ Nafas damai dan dan tidur yang nikmat/ Khianat diterima tanpa kesumat…Dia ingin diterima tanpa cacat dan umpat kesu-mat oleh Yang Maha Zat. Pada banyak sajaknya memang terasa resa dan nuansa pengembaraan, terlebih lagi pada puisi berjudul “Mengembara”. Tapi pengembaraan itu ditakarnya dengan kesadaran: Bila sungai-sungai bermuara ke lautan/ Laut manakah muara bagi sungai dalam hatiku/ Bila burung-burung terbang bebas di cakrawala/ Manakah cakrawala tempat mengem-bangkan sayap/Bagi rindu yang menggelepar dalam dadaku/ Bila taman-taman pun juga punya pengasuh/ Siapakah pengasuh jiwaku yang buncah ini ?… (Ya, Kita Memerlukan Kekasih, 1967).
Pada puisinya yang agak lebih baru, saat usia 61, di semakin menakar kesadaran bahwa kehidupan berawal dari kata, yang eksplisit menyatakan penegasan Allaah al-Kholiq: Kun fa ya kun: berapa usia kata-kata/pepatah dan petitih?// Tua betapa pun tak renta/ tak mengenal ajal// …Kata bertahta tanpa aksara/ Bermahkota tanpa raja// … Siapa pun lahir, Tuhan menempatkannya, dengan cahaya/ Di bumi. Kaum dan negeri menimangnya dalam tatanan/
Kata memberi mereka mahkota, menandai jalan ke sorga (1999).