Setelah melihat begitu banyak generasi baru di Jawa Pos yang hebat-hebat, JS berpikir untuk mengakhiri karir wartawan. Masuk politik. Ikut membidani PAN yang didirikan Prof Dr Amien Rais. Bagi JS, Pak Amien Rais bukan hanya dosennya. Tapi juga panutannya. Dia sangat mengidolakan Amien Rais. Nyaris membabi buta.
Jadilah JS anggota DPR. Tentu masuk komisi I. Yang membidangi luar negeri dan pertahanan. Sesuai banget dengan obsesinya. Bahkan setelah tidak di DPR, dia mendapat tugas sebagai duta besar. Di negara yang penting pula: Swiss. Lagi-lagi sangat sesuai dengan obsesinya.
Hubungan kami dengan JS tidak pernah putus. Dia tetap menulis di Jawa Pos. Juga tetap mampir ketika lagi ke Surabaya.
Kalau toh ada perubahan, itu adalah badannya. Juga sikapnya kepada Amien Rais. Rupanya, JS menderita diabetes. Badannya digerogoti gula. Dan digerogoti politik. Dia kelihatan kurang puas dengan perkembangan PAN.
Saat saya melayat ke rumah duka di Sentul kemarin petang, jenazah Bung Joko Susilo dibaringkan di lantai atas. Menunggu diberangkatkan ke kampungnya di Boyolali. Upacara selamat jalan dilakukan sahabat-sahabatnya. Istrinya masih dalam perjalanan dari Surabaya. Satu di antara tiga anaknya masih di Belanda. Kuliah di sana.
Bung Joko, Anda orang yang berprestasi. Hidup Anda penuh arti. Penuh sekali.***