SAJAK

Sajak-sajak Kamil Dayasawa

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 10:57 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Kidung Batang-Batang

Tinggal kedip mata di remang malam

Jalan tak lagi panjang, hanya sejengkal ke pelabuhan

Di dadaku ratusan gelombang bersatu

Membentuk menara waktu

Pesisir semerbak bangkai ikan

Perahu-perahu terayun rindu larung

Kasur pasir terhampar di kamar lengang

Legung bersandar pada dinding pualam

Tanah buaian dirampas kemarau panjang

Tangan-tangan rapuh terentang di bawah matahari siang

Sebagai lelaki aku bekerja

Sebagai perempuan akusetia

Di punggungku semua jalan tak pernah buntu

Sawah dan ladang, laut dan bukit

Segala sakit akan tumpas di mata celurit

Semua duka akan sirna di ujung doa

Ambil bajak gemburkan tanah, kuburkan setiap resah

Tembakau-padi telah berjanji, memberi napas paling puisi

Gadis-gadis peniup api tungku

Tetap setia mengukus jiwa yang layu

Biar mata pedih bibir ngilu

Angkat jangkar layarkan sampan

Lihatlah ketabahan ombak lautan

Berhilir dari tengah samudera ke tepi pantai

Hanya untuk mengirim kabar, tentang nelayan kedinginan

Bila malam cukup terang

Kuhampar tikar pandan, kukenang wajah moyang

Keriap daun siwalan sayup-sayup bagai tangisan

Bintang nenggala hijrah ke selatan

Isyarat langit segera hujan

Musim menebar pujian

pada garam, tembakau, padi

yang menyimpan hangat napas petani

Tubuhlegam dilumuri batu kapur

Tampak pucat bagai mayat

Melangkah di jalan-jalan aspal

Lambaikan tangan padaku:

Ibu yang takut pada gincu

Ayah yang pantang memuja seberang

Banyak kusaksikan rumah megah

Pagar menghadang begitu gagah

Seolah berkata pada pejalan

: Beri jarak sejauh sumur dan bulan

O, langit malam

Kenapa tak kudengar lagi suara bocah mengaji

Langgar-langgar dipungut sunyi

Jam bintang. Jam matahari

Hilang dari langit puisi

Pecinan berdoa di kubur leluhur:

Jumat pagi-Jumat senja

Kembang kamboja gugur bersama

Titian batang kelapa di sungai kecil

Ibarat legam lengan petani

Air mengalir biarkan ke hilir

Riciknya adalah nada-nada zikir

Nyabakan purnama membakar dupa

Ruh batu-batu moksa

Penandak berdiri tegak di hulu makam

Para Bajing menangkap angin di cungkup lengang

Kembang tujuh rupa kutebar sepanjang jalan

Angin ganas menampar daun-daun ketapang

Anak-anak layangan lari menggiring malam

Berselempang angan, nasib buruk, yang terus memanjang

Tapi kutahu pagi akan jelang

Seiring cericit burung pada dahan

Seperti jalan yang tak panjang

Akan melahirkan ribuan cabang

Piyungan, 2015









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook