SAJAK

Sajak-sajak Kamil Dayasawa

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 10:57 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Sepasang Sapi

1/

Di muka kandang sering kusaksikan gelisah sapi sepasang

Lenguh panjang bagai nyanyian mengusik lelap nurani ladang

Dua-tiga burung jalak hinggap di atap, siulnya serupa ratap

Bau kotoran menyerbu hidung, pada angin siang aku berlindung

Mungkin tampar di lehernya terlalu erat mengikat

atau seikat rumput hijau tak lagi memberi hasrat

Siang dan malam tak memberinya pemandangan bintang

Walau di sepasang matanya selalu kulihat taburan kekunang

Seperti matamu di malam-malam panjang

terangi kelam hidupku yang malang

2/

Karena itu sering kubayangkan

Kita sebagai sepasang sapi dalam kandang

Berlindung dari panas dan hujan di bawah satu atap

Jam berdentang tahun memanjang tak bisa saling dekap

Seperti ada dinding gaib pemisah raga

Berulangkali coba dirobohkan tapi tak bisa

Bila tiba waktu gembala datang membawamu  

dikawinkan dengan pejantan

dipaksa hamil dengan cara perkosaan

Aku yang terperangkap dalam senyap

melihat langkah kakimu terasa begitu berat

Bila aku berontak, benturkan tubuh pada palang, tiang pancang

Orang-orang akan datang merubuhkanku di tanah lapang

Kilat mata pisau di tangan legam akan merobek leherku

Bersama aum penghabisan yang panjang

Di muka kandang sering kusaksikan gelisah sepasang sapi

Seperti gelisah kita menghitung hari

Piyungan, 2016

Napas Petani

Napasmu hangat angin kemarau berdesau harum tembakau

Tanah kerontang pantang tumbuh pohon sebatang

Kauhujani keringat kuning, air mata doa yang bening

Kembang-kembang putih kuntum, daun-daun mekar

Mata cangkul bicara pada akar ihwal panen dan penantian

Di sudut sawah kau lelah, rumput liar menjangkau betismu

Kawanan burung terbang ke arah senja penghabisan

Kaupandang dengan mata nyalang, kelam musim hilang

Sebab hujan tak pernah bisa menghapus kenangan

Pada angka-angka kalender musim tanam

Kauhentakkan kaki ke bumi tiga kali

Belalang-belalang kecil berlompatan

Menjangkau tanganmu yang legam

Piyungan, 2015

Sajak Tahun

Getar suaramu di hulu malam

Menuntunku ke tengah padang

Deretan pohon-pohon panjang

Bagai orang-orang dari masa silam

Tak ada suara petasan kecuali di kejauhan

Juga lengking terompet yang malang

Tanah pasir berdesir dihempas angin bukit

Bintang-bulan khusuk mengeja firman

Kulitku remang saksikan khotbah rumputan

Piyungan, 2016

Burung Malam

Pada jejak langkah entah keberapa

Kaubenturkan tubuh pada menara

Lampu-lampu kota padam, bulan tak datang

Jauh di selatan sekumpulan lelaki berbaju hitam

Menyanyikan himne di bawah patung pangeran

Burung-burung malam di dahan, mendekap sayap

Sepasang matanya bagai jendela setengah terbuka

Jam kota berdentang membangunkan bunga-bunga

Kursi-kursi beku runduk punggung pedagang kakilima

Memenuhi sudut-sudut lengang, menunggu, entah siapa

“Beri aku lilin, beri aku angin,” desismu.

Ketika sampai di simpang empat, kau sadar tak punya alamat

Berulangkali menunjuk-tunjuk ke segala penjuru

Senyap derap waktu mengintai dari ujung pilu

Guguran daun beringin menyapamu

Kerisik suara: Namaskara!

Piyungan, 2015









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook