Orang-orang dari arah kota datang mengusung hendak.
Membaca kata demi kata. Meneriakkannya hingga
lepas ke tengah muara. Mengingat yang ada dan tiada:
mereka yang lahir, besar dalam gulungan kata.
SYAHDAN, para penulis, atau sebut saja calon penulis, mengembara dari satu kampung ke kampung berikutnya. Hampir seluruhnya berusia muda. Datang mencari sesuatu yang bisa atau mungkin bisa mereka torehkan dalam karya-karyanya. Mengingat nama-nama berpengaruh yang tak dikenal. Melihat lebih dekat satu sudut yang belum "terbaca" tapi telah melahirkan pengkarya dalam berbagai rupa.
Tenas Effendy, Tengku Ubaidillah, Temol Amsal, Kazzaini Ks adalah diantara nama-nama sastrawan Riau asal Kabupaten Pelalawan, tempat sekelompok anak-anak muda itu mencari inspirasi dan berbagi, tepatnya di tepian Sungai Kampar tempat gelombang bono mendampar. Di sana mereka membaca puisi, berdiskusi dan mengenali karya-karya besar mereka.
Tak kira siapa penguasa, siapa penggagas, kisah mendamba pada karya sastra berupa puisi itu memuncak dalam satu wadah: Kenduri Puisi II dengan tema Bono dalam Puisi, 5-6 Maret lalu. Tentu saja kembara bersama-sama. Beramai-ramai dari berbagai kota. Ada yang datang dengan sendirinya. Ada pula yang berkelompok dengan komunitasnya. Jumlah mereka banyak. Puluhan. Lebih 80 orang. Juga lebih 10 komunitas. Lebih banyak dari kenduri sebelumnya di Danau PLTA Kampar.
Bermacam-macam. Tidak hanya komunitas sastra saja. Tapi yang pasti, mereka yang datang ke acara kenduri adalah mereka yang sayang dengan puisi, paling tidak ingin kenal dengan puisi. Komunitas itu adalah, Forum Lingkar Pena (FLP) Pekanbaru, Bahtera Kata Pekanbaru, BnD Tembilahan, Mapedalhi-Mappsy, Latah Tuah Pekanbaru, Bengnkel Seni Lipatkain, Pokdarwis Tepian Mahligai Kampar, Sendayung Lipatkain, Rumah Kayu Pekanbaru, Community Pena Terbang (Competer) Pekanbaru, Kongkow Nulis Pekanbaru dan lainnya.
Memang, dunia kesusasteraan di Riau saat ini, termasuk puisi, diwarnai dengan munculnya berbagai komunitas. Mereka ‘menguasai’ panggung-panggung yang ditegakkan di setiap Kenduri Puisi yang digagas Komunitas Seni Rumah Sunting (KSRS) ini. Tak di atas danau, tak di tengah pelabuhan, tak di riuh gelombang bono, selalu riang dan damai.