Berbagai rupa bentuk puisi muncul di atas panggung. Puisi tak lagi sekedar kata-kata yang tertulis di atas kertas. Tak lagi sekedar tekstual semata. Ia sudah menjadi karya panggung yang berbeda. Tidak hanya sekedar dibaca. Tapi juga dimusikalkan, divisualkan, ditarikan, bahkan diparodikan. Malah sebagian dikolaborasikan dengan nandung panjang.
Barangkali puisi tak hanya dimaksudkan sebagai karya sastra secara utuh yang berupa kata. Tapi bagaimana ia menjadi penghubung antara masa lalu dengan kini, yang dekat dengan yang jauh, yang tinggi dengan yang rendah, yang biasa dengan yang ternama, yang muda dengan yang telah tiada. Bukan hanya itu, puisi juga menjadi alat komunikasi yang menghibur masyarakat perkampungan sehingga mereka turut mengenal dan tahu karya-karya nasional maupun dunia.
Berbagi pengalaman dalam berkarya, tidak hanya didengar oleh mereka yang datang ke kampung-kampung itu, tapi juga oleh orang-orang kampung itu sendiri. Banyak orang di kampung yang tidak tahu tentang tokoh-tokkoh sastra Riau yang lahir dari kabupaten/kota tempat mereka tinggal. Saat kenduri itulah mereka mendapatkan ilmu tentang itu semua. Termasuk para penulis atau calon penulis.
Muda atau tua tak ada beda. Saat masuk ke bejana bernama Kenduri Puisi itu, mereka menggulung dan tergulung kata. Ketua Dewan Kesenian Riau (DKR) Kazzaini Ks yang hadir pada saat itu juga berlaku sama. Ia bercerita tentang pengaruh sastrawan Pelalawan di dunia kesusasteraan di Riau. Penyair Riau, Mosthamir Thalib, juga berlaku sama. Camat Teluk Meranti Kiky Syamputra, tiada beda. Ketau Dewan Kesenian Pelalawan (DKP) Herman maskar, tak hendak kehilangan peran. Meski tak sempat hadir, ia menganugerahkan piagam penghargaan khusus kepada KSRS.