bertahan di atas air I
seperti pertapa, rusa-rusa itu
bertahan di atas air
menimba petang pada siang
remang pada gamang
yang pincang
dunia dicipta
dikeningnya sendiri
dari bilah
ketakutan dan kutukan:
‘apakah Tuhan tak
memburu kami?’
barangkali hanya di atas air
di danau yang hijau
di puncak ketinggian
harapan
rusa-rusa itu merasa
dunia ini, seperti bukan kutukan
seperti bukan ketakuan
yang rimbun
di ubun tahun yang uban
Kutub, 2016
bertahan di atas air III
rusa-rusa itu berputar-putar
sendiri di atas air
Tuhan meniupkan api
agar Ia tak berhenti di situ
alam semesta
musik paling sempurna
Ia dengarkan dengan khidmat
betapa hidup
adalah usaha menyimak
sebaik-sebaiknya
betapa air, suara burung camar
dan desau kincir
dan angin hutan
adalah instrument
paling centil
bagi api yang bangkit
dari kekosongan pikiran
Ia ingin mencapai hidup
bersama kekasih
yang mencintainya
dengan cara paling gila
melompatlah ke dalam api
dan jika masih tak merasakan aku
penggallah kepalamu
tapi apakah rusa-rusa itu
percaya dan mengangguk
lalu patuh pada isyarat
dan petunjuk
yang kabarnya
adalah jalan abadi
untuk berjumpa
rusa-rusa itu tidak setolol
yang dibayangkan rusa-rusa lain
ketika Ia hanya
diam
dan tidak bicara
bagaimana dunia berkerja
dan dicipta
dari bintik cahaya Nabi
rusa-rusa itu selalu percaya
suara-suara rusa lain yang
berhamburan
tak gila seperti dirinya
yang terbakar api tungku
dan kau pembaca
mungkin akan menyebutnya
cinta yang tak pasti
maka setiap jalan yang diputuskan
Ia samarkan, sebagaimana malam
diam-diam menyamarkan matahari
dan akhirnya dhukka itu
dalam istilah teologi Buddhis
tidak mencintai penyair pesisir
dengan alasan apa pun
sebab rusa-rusa itu
hanya alat, dan tokoh dalam puisi ini
yang dikerahkan
jauh sebelum penyair
mengenal Tuhan
apakah hari ini penyair
telah mengenal Tuhan?
rusa-rusa itu selalu percaya
pasti pembaca akan bilang
TIDAK
Kutub, 2016