Batu Sanggan dipimpin oleh seorang kholifah bergelar Datok Godang yang memiliki peran sebagai menteri, gubernur (pemimpin wilayah) dan hakim. Pemimpin wilayah adalah sebagai orang yang dinomor-satukan di wilayahnya yang terdiri dari enam kenegerian yakni Pangkalan Serai, Malako Kociak (Tanjung Beringin), Gajah Betalut, Tarusan dan Aur Kuning dan Batu Sanggan sendiri. Sedangkan sebagai hakim berarti menjadi hakim di seluruh Rantau Kamparkiri atau tidak hanya di wilayahnya saja.
Lagi-lagi segala ketentuan yang termaktub dalam Sumpah Sotieh akan dijadikan acuan dalam setiap kali perundingan dilaksanakan. Termasuk saat rapat dan musyawarah besar tentang hukum adat dilakukan di Balai Adat tersebut. "Tidak bisa main-main dengan Sumpah Sotieh. Meski sudah ada sejak tahun 1111 masehi, tapi masih menjadi pegangan hingga saat ini," sambung Suparmantono.
Dekat Hingga Kini
Ratusan tahun sejak kitab Sumpah Sotieh ditenggelamkan, bukanlah waktu yang singkat. Kondisi sungai, desa dan kawasan di Rantau Kamparkiri juga sudah berubah. Sungai-sungai sudah bergeser. Lebarnya juga semakin bertambah oleh gerusan air sungai yang selalu meluap. Tidak ada yang tahu pasti di mana titik tempat kitab Sumpah Soti itu ditenggelamkan. Masyarakat hanya tahu kalau kitab itu dibuang di Muara Bio, tempat yang dikabarkan secara turun temurun sehingga tetap diketahui, sekalipun anak-anak muda zaman sekarang.
Tentang segala aturan dan ketetapan dalam Sumpah Sotieh masih diketahui oleh anak-anak muda zaman kini. Meski tidak secara detail, tapi garis besar dari Sumpah Sotieh dan tentang Sumpah Sotieh itu sendiri masih diajarkan yang tua kepada yang muda. Dampak, akibat dan segala bencana yang akan muncul akibat melanggar Sumpah Sotieh itu juga masih diyakini anak-anak masa kini.
"Keberadaan Sumpah Sotieh merupakan bagian sejarah di Rantau Kamparkiri yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Anak cucu, wajib tahu tentang itu. Makanya, dalam berbagai pertemuan adat, kami masih mengacu kepada undang-undang atau peraturan yang terkandung dalam Sumpah Sotieh. Semakin sering digunakan semakin dekat di tengah masyarakat. Biar anak cucu tidak lupa dan tetap mengacu kepada undang-undang besar di tanah kelahiran mereka," jelas Suparmantono.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar