Kutuk Sunyi Sumpah Sotieh

Riau | Minggu, 08 September 2019 - 11:53 WIB

Kutuk Sunyi Sumpah Sotieh
Persimpangan dua sungai di Desa Muara Bio, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, tempat Sumpah Sotieh dibuat. (FOTO KUNNI/RIAU POS)

Muara Bio bukan tempat biasa. Sebuah pulau berupa tepian kerikil nan panjangdi desa ini, di sinilah Sumpah Sotieh dibuat, yakni  undang-undang yang dipercaya masih melahirkan kutukan jika melanggarnya.

RIAUPOS.CO -- Sumpah Sotieh (Sumpah Sakti) merupakan Undang-undang tertinggi di Rantau Kamparkiri. Di dalamnya terkandung 32 ketentuan, yakni, 12 bagian undang, 6 bagian adat, 6 bagian syara’ dan 8 bagian cupak (ukuran). Ianya berisi tiga hal pokok; peringatan, hal-hal yang tak boleh dilanggar, dan hal-hal yang dirahasiakan. Sumpah ini sudah ada sejak tahun 1111 yang disaksikan oleh seisi rimba raya, yang nampak atau yang tidak, yang di air atau yang di darat. Kitab ini jugalah yang digunakan untuk mendirikan kerajaan Gunung Sahilan pada tahun 1700 masehi.


Dalam sumpah sotieh disebutkan, ‘’disaksikan harimau seluruh rantau baik yang terlihat dan tidak terlihat, oleh buaya yang kasar dan halus.’’ Maka, yang melanggar sumpah tersebut dipastikan akan didatangi sesuatu, melihat sesuatu, mengalami sesuatu di luar kemampuan manusia. Bahkan berlaku hingga sekarang.

Agar tak hilang begitu saja, sumpah Sotieh yang dibuat di di Desa Muara Bio ditulis dalam sebuah buku atau kitab, lalu ditenggelamkan dalam sungai dengan batu yang diambil dari Gunung Sahilan sebagai pemberatnya. Tujuannya agar undang-undang induk dari segala peraturan Rantau Kamparkiri itu tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa diubah oleh siapapun dan tetap seperti semula sampai kapanpun juga.

‘’Sampai sekarang Sumpah Sotieh masih berlaku. Siapapun yang melanggar, akan ada sesuatu yang datang padanya. Inilah kekuatan sumpah sotieh yang dibuat dengan segala kesaktian melalui doa-doa para pendahulu. Dan semua yang terkandung dalam Sumpah Sotieh sesungguhnya apa yang terkandung dalam kitabullah,’’ ungkap Kholifah Batu Sanggan bergelar Datok Godang, Suparmantono.

Muara Bio sendiri merupakan desa yang dulunya bergabung dengan Desa Batu Sanggan. Lalu dimekarkan sesuai dengan kepentingan administratif pemerintahan Kabupaten Kampar. Karena kekuatan dan pengaruh Sumpah Soti yang dibuat di Muara Bio (saat ini), maka desa ini dikenal sebagai telaga undang, pusat perundang-undangan bagi seluruh masyarakat di kenegerian seluruh Rantau Kamparkiri.

Meski Sumpah Sotieh tidak bisa dilihat lagi, tapi para kholifah kenegerian Rantau Kamparkiri memiliki salinannya. Suparmantono, berkali-kali membolak-balekkan catatan tentang Sumpah Sotieh dalam buku biasa yang ditulis dengan tangannya sendiri. Inilah yang menjadi panduan baginya dan bagi seluruh kholifah dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Ini juga yang membedakan derajat antara para kholifah tersebut dengan masyarakat lainnya.

Banyak undang-undang turunan yang berinduk kepada Sumpah Sotieh. Di antaranya peraturan yang menyangkut tentang  lingkungan (tanah) maupun undang-undang rantau. Peraturan tentang lingkungan tersebut ada 4 pilar, yakni, tentang tanah yang hanya diperuntukkan untuk empat hal;  tanah untuk rumah dan kubur, tanah untuk perkebunan, tanah untuk pertanian dan tanah untuk hutan larangan atau hutan adat. Begitulah bagaimana seharusnya memanfaatkan tanah di rantau Kamparkiri.

Begitu juga dengan undang-undang rantau (kenagarian) yang berinduk kepada Sumpah Sotieh tersebut. Undang-undang ini terbagi menjadi empat bagian, yakni, undang-undang raja, undang-undang hukum alam, undang-undang alam dan undang-undang kebesaran alam. Meski mirip tapi keempatnya berbeda.  Undang-undang hukum alam adalah undang-undang yang tak bisa diubah karena sudah merupakan hukum alam. Begitu juga dengan undang-undang kebesaran alam. Sedangkan undang-undang rajo dan undang-undang alam masih bisa diubah oleh manusia melalui akal dan kecerdasannya.

Penjabaran Sumpah Sotieh secara keseluruhan dijabarkan dalam undang-undang kenegerian. Masing-masing kenegerian juga memiliki undang-undang dan peraturan yang berbeda-beda. Tapi, semua tetap mengacu kepada Sumpah Sotieh. ‘’Masing-masing kenegerian memiliki peraturan yang beragam. Sumpah Sotieh menjadi satu-satunya acuan. Bahkan ada desa yang masih menjalankan sanksi sesuai ketentuan desa atau kenegeriannya itu. Ada warga yang tidak dianggap. Kalau ada pengumuman apapun tentang desa, kegiatan apapun, tidak pernah dilibatkan, karena dinilai tidak menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Sotieh,’’ ungkap Suparmantono lagi.

Dikenal sebagai Telaga Undang
Di Batu Sanggan, terdapat satu bangunan balai adat. Balai yang merupakan rumah paanggung dari kayu ini merupakan bangunan lama yang kental dengan sentuhan arsitek lokal. Selain ada tangga di bagian depan, juga ada teras dan ruang terbuka. Tidak berdinding rapat seperti rumah-rumah tempat tinggal, tapi berpagar kayu-kayu kecil sehingga angin masuk dengan leluasa. Orang-orang yang sedang duduk di dalamnya, akan terlihat dengan jelas dari luar.

Bangunan ini sudah cukup usang. Dibangun sekitar tahun 1990-an oleh pemerintah setempat. Di sinilah perundingan terjadi, jauh sebelum Muara Bio tempat kitab Sumpah Sotieh ditenggelamkan berdiri sebagai desa sendiri atau terpisah dari Batu Sanggan. Bukan hanya untuk masyarakat Batu Sanggan dan wilayah sekitarnya, tapi untuk seluruh Rantau Kamparkiri. Jika persoalan kriminal dan hukum adat di daerah atau kenegerian masing-masing tidak bisa diselesaikan, di sinilah persoalan itu akan dituntaskan. Sesuai dengan peran kholifah Batu Sanggan sebagai Datok Godang yakni membidangi persoalan kriminal dan hukum adat.

Batu Sanggan dipimpin oleh seorang kholifah bergelar Datok Godang yang memiliki peran sebagai menteri, gubernur (pemimpin wilayah) dan hakim. Pemimpin wilayah adalah sebagai orang yang dinomor-satukan di wilayahnya yang terdiri dari enam kenegerian yakni Pangkalan Serai, Malako Kociak (Tanjung Beringin), Gajah Betalut, Tarusan dan Aur Kuning dan Batu Sanggan sendiri. Sedangkan sebagai hakim berarti menjadi hakim di seluruh Rantau Kamparkiri atau tidak hanya di wilayahnya saja.

Lagi-lagi segala ketentuan yang termaktub dalam Sumpah Sotieh akan dijadikan acuan dalam setiap kali perundingan dilaksanakan.  Termasuk saat rapat dan musyawarah besar tentang hukum adat dilakukan di Balai Adat tersebut. ‘’Tidak bisa main-main dengan Sumpah Sotieh. Meski sudah ada sejak tahun 1111 masehi, tapi masih menjadi pegangan hingga saat ini,’’ sambung Suparmantono.

Difahami Generasi Zaman Kini
Ratusan tahun sejak kitab Sumpah Sotieh ditenggelamkan, bukanlah waktu yang singkat. Kondisi sungai, desa dan kawasan di Rantau Kamparkiri juga sudah berubah.  Sungai-sungai sudah bergeser. Lebarnya juga semakin bertambah oleh gerusan air sungai yang selalu meluap. Tidak ada yang tahu pasti di mana titik tempat kitab Sumpah Soti itu ditenggelamkan. Masyarakat hanya tahu kalau kitab itu dibuang di Muara Bio, tempat yang dikabarkan secara turun temurun sehingga tetap diketahui, sekalipun anak-anak muda zaman sekarang.

Tentang segala aturan dan ketetapan dalam Sumpah Sotieh masih diketahui oleh anak-anak muda zaman kini.  Meski tidak secara detail, tapi garis besar dari Sumpah Sotieh dan tentang Sumpah Sotieh itu sendiri masih  diajarkan yang tua kepada yang muda. Dampak, akibat dan segala bencana yang akan muncul akibat melanggar Sumpah Sotieh itu juga masih diyakini anak-anak masa kini.

‘’Keberadaan Sumpah Sotieh merupakan bagian sejarah di Rantau Kamparkiri yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Anak cucu, wajib tahu tentang itu. Makanya, dalam berbagai pertemuan adat, kami masih mengacu kepada undang-undang atau peraturan yang terkandung dalam Sumpah Sotieh. Semakin sering digunakan semakin dekat di tengah masyarakat. Biar anak cucu tidak lupa dan tetap mengacu kepada undang-undang besar di tanah kelahiran mereka,’’ jelas Suparmantono.***

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar Kiri Hulu

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook