Oleh Griven H Putra
Kekayaan khazanah budaya Melayu memang terpumpun dalam banyak bentuk, kongkrit maupun abstrak. Di antara kekayaan yang abstrak tersebut termasuk nilai. Melayu memiliki budaya tutur penuh dengan muatan nilai, termasuk nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter tersebut dapat juga disebut sebagai akhlak dalam literatur Islam.
Menurut Akramullah Syed (2011), akhlak merupakan istilah dalam bahasa Arab yang merujuk pada praktik-praktik kebaikan, moralitas dan prilaku yang baik. Istilah akhlak sering diterjemahkan dengan prilaku islami (islamic behaviour), sifat atau watak (disposition), prilaku baik (good conduct), kodrat atau sifat dasar (nature), perangai (temper) etika atau tata susila (ethics), moral dan karakter. Semua kata tersebut merujuk pada karakter yang dapat dijadikan suri teladan yang baik bagi orang lain. Di sinilah yang dinmaksudkan Allah Swt dalam ayat: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS:33:21).
Menurut Muhammad Yaumi (2014), ayat tersebut memberi gambaran bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan teladan utama (khuluqin aziem) dalam berbagai hal karena memiliki sifat, perangai, watak, pikir, bersikap dan bertindak.
Untuk mencapai akhlak yang tinggi (khuluqin azhim) maka keenam budi pekerti tersebut mesti disucikan agar dalam setiap pelaksanaannya dapat mencerminkan akhlak yang agung. Orang-orang terbaik yang telah disucikan akhlaknya sehingga menjadi manusia paripurna yang dapat memengaruhi karakter-karakter manusia pada umumnya menjadi karakter-karakter terbaik.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia.” (Riwayat Malik). Menurut hadits ini, bahwa kehadiran Rasulullah Saw adalah untuk memperbaiki, menumbuhkan atau mengembangkan akhlak mulia. Bahkan indikator kesempurnaan iman seseorang adalah keagungan akhlaknya, seperti hadits berikut: “Orang mukmin yang paling sempeurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan at-Tirmidzi).
Keagungan kepribadian Rasulullah terintegrasi dalam prilaku dan aktivitas keseharian yang tergambar dalam empat sifat, shiddiq (benar), amanah (benar-benar dipercaya), tabligh (informatif, menjadi informasi yang benar), dan fathonah (bijaksana). Keempat sifat inilah yang menjadi payung besar dalam pendidikan karakter dan budaya bangsa yang menjadi intisari pendidikan karakter, artinya nilai-nilai pendidikan karakter merupakan perwujudan dari empat sifat dan karakter Rasulullah Saw sebagaimana tergambar di atas.
Tujuan pendidikan nasional jelas telah meletakkan dasar dasar yang kuat dalam menopang pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Namun penyelenggaran pendidikan telah mengalami degradasi yang sangat mengkhawatirkan, di mana nilai-nilai kearifan lokal telah terbungkus oleh kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan pribadi intelektual menjadi ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan dalam menentukan keberhasilan dalam menempuh pendidikan, dan upaya penyeragaman kemampuan telah membelenggu tumbuh dan berkembangnya keragaman kemampuan sebagai pencerminan beragamnya kekayaan budaya bangsa.