ESAI SASTRA

Melayu dan Pendidikan Karakter

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 00:50 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Menurut Tilaar, nilai-nilai karakter Indonesia yang hendak dibangun itu ada di dalam nilai-nilai Pancasila, yang sebenarnya digali dari kebudayaan-kebudayaan daerah. Yang dibutuhkan sekarang ini, bagaimana pendidikan nasional kita dapat menerapkan pendidikan yang mengembangkan kreativitas, berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berkarakter,” kata Tilaar.

Sementara menurut saya, lebih karena kurang memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal karena di setiap tempat dan kelompok masyarakat memiliki cara tersendiri dalam mewariskan nilai kepada masayarakatnya. Jauh sebelum ide penerapan pendidikan karakter di Indonesia yang dimotori Prof M Nuh, masyarakat Melayu sudah melakukannya dalam berbilang masa. Setidaknya itu dapat dibuktikan melalui Tunjuk Ajar Melayu yang dikumpulkan atau dituliskan kembali oleh H Tenas Effendy.

Dari sekian banyak petuah dan amanah, maka setidaknya ada terkandung 29 butir nilai yang berkait kelindan dengan pendidikan karakter.

Perbandingan tabel di atas menunjukkkan betapa kayanya pendidikan karakter dalam budaya Melayu. Itu baru dilihat dari satu sumber, yaitu buku Tunjuk Ajar Melayu yang dihimpun Tenas Effendy, padahal masih banyak buku yang lain, baik tulisan dari Tenas sendiri maupun dari pengarang Melayu Riau lainnya.

Pertanyaannya, apakah pendidikan karakter di Indonesia benar-benar berlandaskan budaya daerah, termasuk di dalamnya budaya Melayu? Kalau memang ada, apakah pendidikan karakter berdasar budaya daerah benar-benar diimplementasikan di sejumlah lembaga pendidikan di Indonesia? Kemudian, untuk provinsi Riau sendiri, apakah kurikulum muatan lokal di Provinsi Riau telah berisi kearifan lokal yang bersumber dari Tunjuk Ajar Melayu? Atau setakat berisi cerita-cerita picisan Melayu saja? Kemudian, masih adakah kebanggaan orang Riau terhadap kekayaan budaya Melayu hari ini, termasuk keranggian sastra, seperti pepatah-petitih yang dijadikan tunjuk dan ajar dalam kehidupan pendahulu mereka selama sekian masa?

Pertanyaan ini muncul setelah melihat lesunya gebrakan kemelayuan di Riau pasca meninggalnya Tenas Effendi (karena di LAM sendiri belum ada orang Melayu yang sebanding dan setanding dengan Tenas Effendy). Kelesuan tersebut juga akibat tersangkut beberapa kasus hukum, beberapa pemimpin Riau seperti Annas Maamun, T Azmun Jaafar, serta lain sebagainya. Untuk itu, masyarakat Riau, kaum pemerintahan dan sejumlah elemen di Riau perlu mengkaji benar dan menerapkan dengan ikhlas serta sungguh-sungguh Tunjuk Ajar Melayu yang sesungguhnya berasal dari nilai Islam dalam laku hidup, agar kelesuan gerakan peradaban Melayu di Provinsi Riau dapat sirna. Tabik...***

Griven H Putra, adalah sastrawan Riau yang aktif menulis. Karya-karyanya telah diterbitkan diberbagai media lokal maupun nasional. Karyanya telah pula dibukukan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook