ESAI SASTRA

Melayu dan Pendidikan Karakter

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 00:50 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Ketika masa pemerintahan SBY jilid II, Menteri Pendidikan Nasional Prof M Nuh melakukan terobosan melakukan upaya pendidikan karakter di Indonesia. Yaitu gerakan nasional dalam menciptakan sekolah untuk mengembangkan peserta didik dalam memiliki etika, tanggung jawab dan kepedulian dengan menerapkan dan mengajarkan karakter-karakter yang baik melalui penekanan pada nilai-nilai universal. Pilar pendidikan karakter tersebut adalah olah pikir (kognitif), olah rasa (afektif), olah hati (spritual) dan olah raga (psikomotor). Nilai-nilai karakter harus terintegrasi dalam empat pilar tersebut.

Kenapa perlu pendidikan karakter diimplementasikan dalam konteks pendidikan?

Pertama, dampak arus globalisasi. Kedua, penyempitan makna pendidikan yang seolah hanya diarahkan untuk cerdas individual, kering spritual. Ketiga, pendidikan didominasi dalil dan norma barat. (Alwasilah, 2009).

Sumber nilai karakter budaya bangsa: pertama, ajaran agama; kedua, Pancasila; ketiga, budaya; kelima tujuan pendidikan nasional. (Sesuai dengan UU No.20 Tahun 2003, pasal 3 berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

18 nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tersebut menurut penelitian Yaumi dan Syahid, 2013, hanya 5 yang terwujud dalam pelaksanaan pembelajaran, dan hanya 4 yang terbangun dalam kegiatan ekstar kurikuler.

Sampai saat ini, publik memandang pendidikan karakter yang dicanangkan Prof M Nuh belum berhasil, seperti meningkatnya tawuran pelajar, dekadensi moral, dihinggapi penyakit narkoba dan lain sebagainya.

Menurut Muhammad Yaumi (2014), terbatasnya nilai-nilai karakter yang terintegrasi dalam pelaksanaan pembelajaran, paling kurang disebabkan dua hal, yaitu. Pertama, ketiadaan mata pelajaran/kuliah pendidikan karakter tersendiri. Kedua, kesulitan guru dalam memahami strategi pengembangan bahan ajar yang mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam setiap aktivitas pembelajaran. Sementara menuruit Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar, sebagaimana dikutip http.edukasi.kompas 26/09/2011 mengkritisi pendidikan karakter yang tidak memiliki konsep yang jelas. Pendidikan karakter di Indonesia mestinya berdasarkan kebudayaan Indonesia yang multikultural.

“Pendidikan karakter Indonesia semestinya dengan mengembangkan nilai-nilai yang kita sepakati bersama yang mempersatukan Indonesia. Ini akan menjadi karakter yang khas Indonesia dibanding dari negara lain, sebagai negara yang hidup dalam budaya multikultural, “ kata Tilaar.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook