Yang Mengalir Hingga ke Hilir Tibawan

Seni Budaya | Minggu, 04 Juli 2021 - 12:55 WIB

Yang Mengalir Hingga ke Hilir Tibawan
Memasang lukah untuk memenuhi kebutuhan lauk pauk di Desa Tibawan masih dilakukan masyarakat. (ISTIMEWA)

Kemegahan begitu terasa di Cipang Raya; empat desa di ujung Rokan Hulu. Mulai dari alam hingga budayanya yang yang istimewa. Menghampar dari hulu hingga hilir yang terus mengalir.

    
(RIAUPOS.CO) - DUSUN Kubang Buaya merupakan daerah tertua di Desa Cipang Kanan yang dulunya bernama Koto Melintang. Hingga kini, Kubang Buaya menjadi pusat atau ibu kota desa dengan aktivitas masyarakatnya yang beragam. Sejarah kemunculan Kubang Buaya juga sangat panjang. Menurut cerita para tokoh Desa Cipang Kanan, Datuk Robinson bergelar Datuk Menaro Sati, menyebutkan, penduduk Kubang Buaya berasal dari Pagaruyung, sekitar abad 17. Waktu itu, ada rombogan satu keluarga yang berjalan kaki dari Lubuk Sikaping kemudian menuju Koto Durian Tinggi, Petok Rao dan Koto Rajo. Sesampainya di sana tidak ada hutan yang bisa dijadikan tempat tinggal. Di sini mereka meminta gelar. Gelar didapat, tapi tempat duduk tidak ada.  Sebagian mereka  ada juga yang berada di Soriak lalu menuju Koto Sawah atau Pasaman. (Disebutkan juga perjalanan mereka bermula dari muara Sungai Sialang menuju Bukit Jambanglobiah,  menurun ke pusaran, terus menuju Bukit Gadusimolombu).


Dikabarkan juga, dari Pagaruyung ini ada dua datuk, yakni Datuk Bagindo Sati tinggal di Koto Sawah meski di sana tidak ada tanah. Waktu itu, di tempat ini ada Kerajaan Muara Tais yang dipimpin Sultan Malenggang. Waktu itu, seperti yang diucapkan Datuk Robinson,  Bagindo Sati Bilang, ‘’Ikuti Sungai Limako sampai ke Tibawan hingga sampai ke hilir air berpusing, lalu naik ke darat, di sana ada kuburan besar, lalu mulailah berkebun.’’

Setelah ratusan tahun, Raja Rokan yang berkuasa waktu itu mengetahui keberadaan mereka. Diutuslah Dubalang untuk mencaritahu. Mereka dipanggil dan menghadap raja yang dipimpin Datuk Sakti.  Diundang juga Datuk Manaro Rokan, Datuk Bendahara Sati Pendalian, Datuk Bendahara Sikebau, Datuk Bendahara Lubuk Bendahara, Datuk Rum Raja Mentawai dan lain-lain. Kepada mereka disampaikan bahwa orang ini dari Pasaman dan dari Rao, datang untuk minta gelar kepada raja. Pengumuman ini disampaikan ketika kenduri dilaksanakan. Maka, waktu itu, rombongan yang dipanggil datang dengan membawa kerbau, emas, bumbu gulai dan perlengkapan untuk makan kenduri.

Sesudah kenduri, lalu dilantik Datuk Sakti oleh raja yang diberi gelar Datuk Bendahara Sati (Menaro Sati). Hutan ulayat yang diberikan kepadanya dari  Gadusimolombu sampai  turun ke bawah Muara Gagak, lalu menuju pematang Bukit Ular Tidur sampai Bukit Kumba, turun ke bawah sampai Toreh Tounjam sampai ke mudik ke Lubuk Sarang Tapah lurus ke Bukit Lumping turun Sungai Pegadis. Sepanjang Sungai Pegadis bermuara ke Sungai Tibawan terus ke Sungai Sialang menuju Bukit Jambanglobiah kemudian ke Gadusimolombu. Kawasan inilah yang disebut dengan Cipang Kanan. Sedangkan Datuk Rum (Raja Mentawai) yang juga diundang dengan tanah ulayatnya di sepanjang Sungai Mentawai diubah menjadi Cipang Kiri,    

Koto Melintang sendiri diambil dari nama Datuk Melintang bergelar Datuk Bendaharo Sati orang petama yang membuka kebun di Kubang Buaya. Istrinya bernama Maripah. Waktu itu Maripah menangguk ikan di Sungai Tibawan, tapi dapat anak buaya. Lalu dibawa ke rumah dan diternakkan dalam botol. Makin lama makin besar, lalu diletakkan dalam baskom. Semakin besar lagi dan diletakkan dalam kancah (kuali besar). Mimpilah Maripah bahwa anak buaya itu minta dipindahkan ke Lubuk Batu Sungai Tibawan dan diberi tanda kalung ijuk di lehernya. Lalu ia dipindahkan ke lubuk tersebut.  Dalam mimpi itu disebutkan,  jangan sekali-kali mencuci kunyit di Sungai Tibawan karena mata buaya itu akan perih.  Kalau menambatkan rakit dari bambu, talinya juga jangan dibuat  dari ijuk.

Sejak itulah, nama Koto Melintang diubah menjadi Kubang Buaya.  Sesudah buaya besar tak mungkin berdiam di lubuk sebab kepala dan ekor sudah panjang, memenuhi sungai dari seberang hingga seberang sebarang. Lalu pindah ke muaro sako tempat pertemuan Sungai Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Kemudian Maripah bermimpi lagi. Dalam mimpi itu buaya berkata, ’’Kalau melihatku, taburkan beras kuning dan yang menaburkan harus asli orang Kubang Buaya.’’

Waktu terus berjalan, Kubang  Buaya terus berkembang, Desa Cipang Kanan juga semakin benyak penduduknya. Lalu lahirlah undang-undang desa Nomor 5 tahun 1969 tentang pemekaran desa dan Desa Kubangan Buaya diubah menjadi Dusun Kubang Buaya. Selain Dusun Kubang Buaya juga ada Dusun Kersik Putih dan Kampung Batas. Penduduk Dusun Kampung Batas ini berasal dari Kubang Buaya yang  membuat kebun di sana. Tiga dusun inilah sekarang yang menjadi daerah di Desa Cipang Kanan.

Cipang Kiri awalnya bernama Tjipangkiri yang merupakan wilayah  Datuk Rum atau Raja Mentawai. Sedang wilayah Datuk Menaro Sati diberi nama Tjpangkanan. Setelah itu menjadi wali negri Tjipang Kanan dan Tjipang Kiri. Setelah itu berubah menjadi Desa Cipang Kanan dan Cipang Kiri sesuai dengan undang-undang tentang desa Nomor 5 tahun 1969, sampai sekarang. Baru tahun 2000 Cipang Kanan mekar  menjadi dua yakni dengan Desa Tibawan. Di Kersik Puttih juga ada satu datuk bergelar Datuk Kali Sati yang ditanam (diberikan) oleh Datuk Menaro Sati Kubang Buaya.

Kepala Desa  (Kades) Cipang Kanan, Abadi, menyebutkan,  luas wilayah Cipang Kanan 12.052, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK)  439 atau 1.505 jiwa per Januari 2018. Di desa juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas pelayanan masyarakat seperti pusksmas (1 unit), SD (3 unit),  SMP (1 unit) TK (3 unit) dan PAUD (3 unit). Berbagai fasilitas  umum berada di tiga dusun yakni, Dusun Kubang Buaya, Kersik Putih dan Kampung Batas. Dari tahun ke tahun fasilitas umum baik bidang pendidikan, kesehatan, listrik mau pun yang lainnya juga mengalami peningkatan.

Ada banyak suku di Desa Cipang Kanan. Di Dusun Kubang Buaya ada Suku Pangkut, Melayu dan Paduko Majo Lelo. Di Dusun Kersik Putih  ada suku Kandang Kopuah dan Melayu. Sedangkan di Dusun Kampung Batas ada Suku Melayu, Pungkut, Pitopang dan Mandailing.

Di Desa Cipang Kanan belum ada jalan aspal sama sekali, atau masih nol persen. Sementara panjang jalang yang ada di desa ini 14,3 kilo meter. Sebagian jalan memang sudah pengerasan, tapi sebagian yang lain masih jalan tanah. Sangat buruk. Rusak. Jika hujan sulit dilewati. Panjang jalan parah ini berada di Dusun Kampung Batas dengan panjang sekitar 3 kilo meter. Padahal jalan ini menghubungkan langsung dengan Kecamatan Rao, tepatnya Desa Rumbai, Provinsi Sumatera Barat. Antara keduanya dibatasi oleh Sungai Gagak dengan jembatan aspal berpagar besi yang melintas di atasnya. Sangat nampak perbedaan Antara Kampung Batas dengan Desa Rumbai, karena begitu masuk Desa Rumbai, akan langsung ditemui jalan aspal mulus.

Penghasilan penduduk masyarakat Cipang Kanan 90 persen karet, 2 persen sawit dan selebihnya bermacam-macam. Ada pedagang, karyawan, guru atau PNS. Desa ini pula dibelah oleh banyak sungai. Di antaranya Sungai Tibawan, Pegadis, Kersik Putih,  Limako, Golopuoog dan Sei Laut.

Tibawan dan Muara Sungai yang Terancam Hilang

Desa Tibawan  merupakan desa pecahan dari Desa Cipang Kanan yang dimekarkan tahun 2007. Orang-orang yang tinggal di Muara Tibawan awalnya adalah orang-orang yang tinggal di negeri Koto Rajo (dekat ibu Kecamatan Rao Mapat Tunggal sekarang). Suatu waktu terjadi perselisihan antara keluarga raja sehingga menimbulkan kelompok-kelompok. Di antara kelompok tersebut ada yang tidak betah tinggal lagi di Koto Rajo. Mereka bersepakat meninggalkan negeriya dan mencari tempat yang belum tahu di mana letaknya.

Kelompok ini, seperti yang diceritakan Datuk Hendrizal, memutuskan berjalan mengikuti Sungai Sumpu arah ke hilir. Mereka berjalan berhari-hari. Setelah melewati kampung Silayang sampailah ke sungai kecil yang bermuara ke Sungai Sumpu. Tempat ini diberi nama muara Tibawan. Sesampainya di sini, mereka bermufakat membuka perladangan. Pemimpi dari kelompok yang membuka ladang ini bernama Datuk Nan Setia dengan istrinya bernama Terung. Soal Datuk Nan Setia ini ada dua cerita. Pertama, Datuk Nan Setia disebut sebagai orang yang diutus raja Rokan untuk menyelediki keberadaan pendatang ke Muara Tibawan dan pendapat kedua, yakni dari masyarakat Tibawan sendiri, bahwa ia memang merupakan orang asli dari kelompok yang datang ke muara Tibawan tersebut. Datuk Nan Setia diberi gelar Datuk Bendahara Muda oleh Raja Rokan dengan tanah ulayatnya mulai dari Batu Olang sampai muara Sungai Pegadis

Kepala Desa (Kades) Desa Tibawan, Radius, menjelaskan, desa ini memiliki tiga dusun, yakni Dusun Sukadamai, Kampung Terendam dan Tunas Mekar dengan luas wilayah 7.429 hektare. Jumlah penduduknya mencapai 983 jiwa atau 281 Kepala Keluarga (KK). Hanya ada satu suku di desa ini yakni Suku Melayu dengan lima datuk, yakni. Datuk Bendahara (pucuk adat) bernama Zufrianto, Datuk Rang Kayo Bungsu bernama Firman Edy, Datuk Manuncang bernama Jeki Arisandi, Datuk Malenggang bernama Wamri dan Datuk Majolelo bernama Asparizal. Sedangkan ninik mamaknya ada 10 orang.

Sekitar 65 persen masyarakat Desa Tibawan tamat Sekolah Dasar (SD). Mereka memiliki penghasilan dari kebun karet sekitar 70 persen. 10 persen pula dari kebun sawit dan 20 persen campuran seperti kopi, pinang, kelapa, pedagang, pegawai dan lainnya. Sebagian warga menjual hasil perkebunan ke Kecamatan Rao melalui Desa Cipang Kanan, sebagian pula ke Ujung Batu, Rohul. Lebih dekat jaraknya ke Rao dibandingkan ke Ujung Batu, sekitar 7 km saja. Hanya saja, jalannya masih tanah dan sangat sulit dilewati saat musim penghujan.

Kades juga menjelaskan, Panjang jalan di desa Tibawan mencapai 9,5 kilometer pada Desember 2017 dan terus mengalami peningkatan khususnya jalan desa sehingga sudah mencapai 12,5 kilometer pada Mei 2018 dengan 3,5 kilometer di antaranya sudah aspal. Desa ini juga dibelah banyak sungai. Selain Sungai Rokan Kiri, juga ada Sungai Tibawan, anak sungai Sungai Bondar, Sungai Marapo, Sungai Pegadis, Batu Ampar, Obom, Marindam dan Sungai Kapeh.  Sedangkan untuk pendidikan, di desa ini ada 1 Taman Kanak-kanak (TK), 1 Sekolah Dasar (SD), dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan SMA dan pustaka belum ada. Tamat SMP, mau tidak mau anak-anak harus melanjutkan SMA ke kota lain karena di tiga desa lainnya juga tidak ada SMA.

Desa Tibawan dilewati Sungai Rokan Kiri. Bahkan jembatan panjang dan besar melintas di atasnya. Desa Tibawan merupakan desa yang paling terancam terendam jika waduk serba guna yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di kawasan  Lompatan Harimau jadi dibangun.

Radius menegaskan, bahwa Tibawan merupakan kampung lama. Penghasilan masyarakatnya juga bagus. Atas nama masyarakat Desa Tibawan, ia dan warganya sangat tidak mau kalau Tibawan harus terendam karena pembangunan waduk serba guna. Semua masyarakat Cipang Raya menolak, apalagi yang bakal terendam habis satu desa adalah warga Tibawan. Ditambah lagi, dari tahun ke tahun, pembangunan di Desa Tibawan terus meningkat. Fasilitas umum di berbagai sektor yang mendorong kesejahteraan masyarakat juga terus bertambah.

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook