UPAYA MEMBANGUN KOLOBORASI NASIONAL

Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023

Seni Budaya | Minggu, 03 Desember 2023 - 10:22 WIB

Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023
Suasana pembuatan ketupat kopau di Okura, Rumbai Pesisir, Pekanbaru, sebagai bagian dari koloborasi Sikukeluang dalam kegiatan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023, baru-baru ini. (SIKUKELUANG UNTUK RIAU POS)


Pameran PKN 2023 ini mengajak khalayak untuk melihat, memetakan, menelaah, mendokumentasikan, meriset, mempresentasikan, menerbitkan, serta membagikan praktik-praktik keseharian bernapaskan kelokalan kepada khalayak luas dari kerja-kerja yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh banyak inisiatif di seluruh penjuru Indonesia.

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru


PADA akhir Oktober 2023 lalu, tepatnya 20-29 Oktober,  Yayasan Sirih Merah Sikukeluang mengikuti Pameran Seni Rupa dalam Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023 yang membawa konsep “Lumbung” sebagai metode aksi. Pameran itu doselenggarakan oleh Galeri Nasional Jakarta. Mereka membawa tema Jalar: Berliterasi Alam dan Budaya Bersama Selarasa. Sedangkan tema umum pameran adalah “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”.

Menurut Adhari Donora, salah seorang pendiri dan pengelola Sikukeluang dan Rumah Nonblok, yang menjadi koordinator peserta pameran, praktik melumbung ini mendorong pembagian sumber daya dan kuasa kepada banyak praktik-praktik keseharian di berbagai lokalitas lain di Indonesia untuk saling belajar, berjejaring, dan memperkuat sinergi antarekosistem.

“Ajakan untuk merawat bumi dan merawat kebudayaan, katanya, diharapkan bisa memberikan makna dan relevansi dalam setiap aksi berkesenian dan berkebudayaan yang dilakukan sembari tetap berakar pada nilai budaya serta kearifan lokal,” kata lelaki yang dipanggil Ade Greden ini kepada Riau Pos, belum lama ini.

Dijelaskannya, Pameran PKN 2023 ini mengajak khalayak untuk melihat, memetakan, menelaah, mendokumentasikan, meriset, mempresentasikan, menerbitkan, serta membagikan praktik-praktik keseharian bernapaskan kelokalan kepada khalayak luas dari kerja-kerja yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh banyak inisiatif di seluruh penjuru Indonesia. Diharapkan upaya kolektif dan kolaboratif ini terus berkelanjutan dengan PKN sebagai rumah dan ekosistem yang mewadahi dan berkembang bersama program, inisiatif, serta gagasan-gagasan baru yang terus bertumbuh.

Sikukeluang mengirim tujuh peserta untuk mengikuti pameran dan kegiatan lainnya dalam PKN 2023. Mereka adalah Gusmarian, Weldi Syaputra, Adhari Donora, Riski Ramadani, Riski Wulandari, Abdul Rauf, dan Erwin.

Pada kesempatan ini, jelas Ade, Sikukeluang terlibat dalam dua rangkaian program kegiatan; yakni Temu Jalar dan  Berliterasi Alam dan Budaya. Temu Jalar berfokus pada pengembangan jejaring pengetahuan, wacana, serta sumber daya kolektif seni di Indonesia melalui forum mahasiswa, pengamatan artistik akal-akalan warga, majelis kolektif, dan penulisan buku dengedepankan praktik kebudayaan sehari-hari yang berpegang erat pada semangat serta nilai lokalitas.

“Sedangkan Berliterasi Alam dan Budaya adalah upaya memahami, menghargai, serta berinteraksi dengan alam dan kelompok orang dari latar budaya berbeda melalui ruang-ruang percakapan yang inklusif dan setara,” ujar Ade lagi.

Pada bagian lain, Gusmarian, menjelaskan untuk kegiatan Temu Jalar, Sikukeluang membawa karya berjudul “Semah Rantau”. Secara konsep, karya ini meminjam tradisi masyarakat Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar. Semah Rantau diartikan sebagai media membersihkan/mengobati. Tradisi ini merupakan ritual untuk membersihkan diri dari segala dosa yang dilakukan warga desa, baik yang sengaja maupun tidak disengaja dilakukan.

Ritual Sema atau Semah Rantau menjadi agenda tahunan di tengah masyarakat. Sema Rantau dilakukan ketika terjadi suatu musibah di kampung, seperti halnya gagal panen padi karena diserang hama ataupun ketika salah seorang warga tempatan menjadi korban mangsa binatang sungai  seperti buaya maupun raja hutan seperti harimau. Selain itu, Semah Rantau juga dilaksanakan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan semesta yang telah memberi rahmat air dan ikan yang berlimpah.

Pada karya ini menggunakan media aktivitas partisipatif, kalender cetak A2 & A3, arsip foto dan video (mix media), mengajak pengunjung berpartisipasi untuk menuliskan doa dan harapan, agar terbuang segala hal buruk serta kesialan yang meyertai. Selain menulis doa, selanjutnya pengunjung meletakkan atau menempelkan doa yang telah ditulis ke kalender yang telah disediakan.

“Kemudian juga ada sticker bertuliskan doa-doa yang telah disediakan, pengunjung bisa mengambil dan menempelkan sticker itu ke kalender yang nantinya bisa dibawa pulang,” lelaki yang dipanggil Acong oleh koleganya tersebut.

Selain Temu Jalar, Sikukeluang juga ikut berkolaborasi pada proyek residensi seni bersama Jagakarsa Foodlab dan Kelompok Tani Hutan Kumbang (Jakarta). Hasil dari residensi ini kemudian masuk dalam rangkaian Berliterasi Alam dan Budaya. Residensi berjalan selama dua pekan (15-23/8) bertempat di Desa Koto Sentajo (Kuantan Singingi), Tebing Tinggi Okura (Rumbai Pesisir), dan Rumah Nonblok Ekosistem (Peknbaru). Proyek residensi lebih difokuskan untuk bagaimana meresapi, memahami, dan melestarikan kekayaan tradisi kuliner dan pengetahuan tentang benih-benih lokal.

Kemudian dari dasar pemikiran itu, mereka menemukan keterampilan lokal yang ada di Okura, yakni ketupat kopau yang hampir hilang dari tradisi masyarakat. Lalu untuk merawat keterampilan yang ada pada masyarakat Okura, kolaborasi ini kemudian memproduksi film dokumenter dan pelatihan membuat ketupat kopau serta pengolahannya dalam citarasa masakan dengan bumbu dan rempah yang biasa digunakan oleh masyarakat. Proyek kolaborasi ini kemudian dipresentasikan pada PKN 2023.

“Selama berada di Jakarta, kami bersyukur bisa mengingikuti sekaligus sangat mengapreasiasi rangkaian kegiatan secara keseluruhan. Semoga konsep metode aksi rawat, panen, dan bagi ini bisa dilakukan oleh komunitas seni yang ada di daerah, terkhusus  Pekanbaru,” kata Acong lagi.

Pada bagian lain, Ade bicara secara umum tentang kondisi ekosistem kesenian dan kebudayaan di Riau. Menurutnya, semua  tidak sedang baik-baik saja,  tetapi ada  ide-ide yang keluar berusaha untuk mencoba menyelaraskan satu dengan lainnya. Misalnya Badan Riau Creative Network (BRCN)  atau dunia kreatif, seni, dan ada ekonominya di situ. Hal-hal seperti ini sebenarnya eksperimen juga untuk pemerintah lokal kita. Idenya bagus, tapi masih terasa kaku karena ruang-ruangnya, batasan-batasan jelas, eksplorasinya kurang.

Hal-hal yang bersifat resmi ini untuk belok sedikit saja susah. Padahal yang dilakukan itu sebenarnya harus ada wacana dan ekperimentasi. Kalau dianggap akademik, harusnya ada ukuran-ukurannya. Selama ini yang dilakukan pemerintah nanggung, baik ide, konsep, dan brainstorming-nya ke seniman dan budayawan mau dilakukan. Ketika diselenggarakan atau diaplikasikan ke lapangan, itu yang terasa masih kurang greget, tidak pas, dan tidak menyatu.

Untuk skala nasional, Ade mengapresiasi adanya dana abadi kebudayaan yang dititipkan ke Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai pengelolanya, karena bisa diakses oleh siapa saja dan dari mana saja asal sesuai dengan persyaratan. Menurutnya ini sebuah titik cerah. Dana abadi itu memang terbuka dan terus jadi nilai tambah, dan bisa diakses oleh seniman. Dan beberapa komunitas seni dan budaya di Riau juga ada yang dapat. Dulu, katanya,  Sikukeluang pernah dapat, tetapi karena pandemi dan tak bisa banyak melakukan kegiatan, akhirnya dikembalikan.  Menurutnya, dana abadi ini penting ketika kebudayaan kita sekarang perlu hal-hal yang sifatnya lebih ekploratif. Ade ingat pidato kebudayaannya Ade Darmawan di Dewan Kesenian Jakarta tahun 2022 lalu. Ade Darmawan mengatakan, ekosistem seni kita sebenarnya palugada, apa yang lu mau gua ada. Maksudnya, sebenarnya pemerintah bisa membantu dan menyediakan apa saja. Masalahnya dunia kesenian kita memang belum memiliki sistem yang baik dan cara kerjanya masih “serabutan”.  

“Nah pekerja seni kontenporer ini diharuskan bisa semua karena realitasnya seperti itu. Karena sebelumnya belum ada akses-akses seperti dana abadi tesebut. Dalam kondisi tersebut masing-masing harus mencari akses lain agar terus hidup dan berkesinambungan. Kalau bisa dua tiga kali masih oke, tetapi harus memikirkan keberlanjutan. Dan harus bisa bertransformasi ke hal yang lain lagi yang lebih besar. Ya, dana abadi kebudayaan itu penting dan harus bisa diakses semua orang yang berkarya,” ujar lelaki yang menyelesaikan S-1 di Jurusan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.

Ade berharap, kerja kolaborasi yang dibangun Rumah Nonblok dan Sikukeluang akan terus berlangsung dan tak berhenti. Mungkin suatu saat orang-orangnya akan baru, ada regenerasi. Namun Nonblok tetap pada konsep trandisiplin yang memungkinkan akan terus melakukan eksperimen seni karena banyak hal yang akan dipelajari dan dikembangkan bersama. Simpelnya yang kontekstual di sekitar. Bukan yang terlalu besar dan tinggi yang kadang tak bisa dicapai.  

Menurutnya, kegiatan PKN 2023 ini akan terus berlanjut di masa depan. Dia berharap, bukan hanya Sikukeluang atau Nonblok yang terus bisa ikut, tetapi juga lembaga seni lain di Riau.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook