ESAI SASTRA

Imajinasi Kematian Para Penyair

Seni Budaya | Minggu, 03 Januari 2016 - 00:01 WIB

Oleh Ahmad Naufel

Kematian adalah peristiwa kelahiran kembali jiwa menuju muara keabadiannya. Karena itu, ia mengandung mozaik ketakterhinggan di mana nalar tidak akan bisa menjangkaunya. Sebab, kematian ada lah muara dari segala gemuruh yang tertampung dalam hidup ini. Ada-menuju-Kematian (Sein-zum-Tode) demikian kata filsuf-metafisikus Jerman, Martin Heidegger.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kematian menjadi jarak pemi sah antara rasa yang dialami ja sad dan rasa yang akan dialami ruh. Ia adalah momen transisi atau rentang peristiwa tentang keterputusan yang menyimpan misteri. Kematian sebagai misteri sulit diungkap karena pengalaman manusia tidak akan pernah menembusnya.

Hanya saja imajinasi manusia tentang kematian tidak pernah berhenti, tetap berhembus dari zaman ke zaman. Penglihatan secara fisik tentu akan menimbulkan rasa getir, gemetar dan takut hingga termanifestasikan dalam bentuk spiritualitas. Muncullah agama untuk menawarkan ketenangan bagi manusia yang akan menuju lorong eskatologis itu.

Penyair Pakistan, Muhammad Iqbal mengafirmasinya dengan larik sajaknya: Kukatakan padamu tanda seorang mukmin/ Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir/ Meninggal dalam suasana tenang/ Dengan senyum mengembang di bibir. Agama di sini dikonstruksikan oleh Iqbal sebagai oase yang menyejukkan, yang akan meng antarkan manusia ke depan ambang kebahagiaan abadi. Seolah-olah mereka yang mati dengan bibir tersenyum telah paripurna dengan ilusi duniawi. Dan jiwa kembali ke peraduan keabadiannya dengan tenang.

 

Eksistensi manusia memberi suntikan kuat bagi timbulnya imajinasi tentang kematian.

Tetapi imajinasi itu tidak akan sampai pada hakikat yang dikehendakinya, yaitu, menyingkap tabir misteri kematian secara gamblang tanpa tedeng aling-aling. Labirin masa depan yang misterius itu meskipun tanpa dikehendaki tetap akan datang dan tak ada yang bisa membendungnya. Kecongkakan Ramses II untuk hidup selama-lama nya dan menjadi abadi pada akhirnya tertelan oleh misteri kematian. Karena dia tidak sadar bahwa menjadi abadi harus mati terlebih dahulu.

Lonceng kematian yang datang secara tiba-tiba telah mengilhami Subagyo Sastrowardoyo melahirkan larik: Dan kematian makin akrab. Membaca larik sajak Subagyo, kita ditarik untuk terus me nyadari bahwa hari-hari yang dilalui manusia adalah pergulatan dengan kematian.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook