ESAI SASTRA

Imajinasi Kematian Para Penyair

Seni Budaya | Minggu, 03 Januari 2016 - 00:01 WIB

Namun, kematian tidak melulu identik dengan kemencekaman. Kematian tetaplah suatu peristiwa yang selalu mengundang reaksi dan pemberian makna. Lepasnya jiwa dari jasad semata-mata adalah momen menuju kelahiran kehidupan baru yang tidak lagi inheren dengan perangkap du niawi. Dalam Puisi Kematian Rabindranath Tagore (2015), Raka Santeri menyebut bahwa bagi Rabindranath Tagore, penyair Asia peraih Nobel sastra 1913, jiwa bukanlah sesuatu yang abs trak, tetapi kongkret, layaknya wujud seorang ibu. Sedangkan kematian adalah pelukannya untuk memberi kelahiran baru.

Lain halnya dengan pengamatan saintifik-medis yang akan menjustifikasi bahwa kamatian tidak akan pernah dirasakan tanpa diala mi karena hanya dilihat dari sisi fisik dan bilogisnya. Sedangkan yang mengalami, telah terkubur dan tidak akan bangkit untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Tanpa melalui penghayatan dan lompatan imajinasi, kematian akan menjelma sesuatu yang mengerikan. Berbeda bagi sejumlah penyair yang menghidangkannya dengan narasi yang seolah-olah telah dan akan dialaminya dengan suasana estetis walaupun tetap dalam balutan misteri. Nuansa estetis kematian kian menemukan pijakannya lewat larik sajak Aslan Abidin: Tak ada yang mencintaimu setulus kematian. Aslan berhasil menghempas suasana getir dengan menawarkan romantika yang berjejak dalam setiap dimensi tentang kematian.

Chairil Anwar dalam Yang Terhempas dan Putus (1949) menulis: Di Karet di Karet (daerahku y. a. d) sampai juga deru dingin. Karet memang jadi tempat Chairil dimakamkan. Baginya kematian bukanlah suatu ancaman dan tidak perlu takut menghadapinya. Kesadaran Chairil akan kepastian datangnya kematiaan menjadi alasan bahwa hidup harus dihayati seda lam-dalamnya. Agar dapat merasakan manisnya intisari hidup ini.

Sajak Chairil tersebut mengi ngatkan juga pada sajak Kriapur Kupahat Mayatku di Air (1981): kupahat mayatku di air/ namaku mengalir/ pada batu dasar kali kuberi wajahku/ pucat dan beku. Sajak ini menjelma semacam deja vu, yang pada ahirnya kecelakaan merenggut nyawa Kriapur dan menenggelamkannya ke dasar kali bagaikan bait-bait sajaknya yang pucat-pasi.

Di dalam genggaman para penyair, kematian menjelma sebagai peristiwa yang tidak harus ditakuti. Kematian adalah pemantik spirit agar dinamika hidup ini harus diisi dengan nuansa yang bermakna. Tetapi, ketumpulan imajinasi dan pudarnya penghayatan akan menenggelamkan seseorang dalam lautan kengerian saat berbicara tentang ihwal kematian. Agama mampu menjadi wahana yang meneduhkan bagi orang yang penghayatannya benar-benar mendalam. Jika tidak, kita hanya menjalani ritual dalam kehampaan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook