Ketidakmungkinan untuk menegasi kematian membuat kita harus mengafirmasinya. Tetapi afirmasi yang dilakukan juga tidak disandarkan pada kehendak individualisme destruktif demi kepentingan dirinya sendiri, seperti yang dilakukan individu atau perusahaan yang membakar hutan yang menyebabkan masyarakat terpapar asap di Sumatera dan Kalimantan. Nyawa tidak bisa ditukar dengan segala ihwal kebendaan. Bagi korban asap atau bahkan Wiji Thukul kematian adalah kebenaran.
Jika hidup telah berhasil dimaknai dengan mengaksentusi kebenaran, maka mati adalah pembuktian bahwa kebenaran tidak akan pernah terkalahkan. Dan dengan mati, mereka (para pembela kebenaran) menjadi abadi. Sehingga diksi “mukmin” dalam sajak Muhammad Iqbal di atas bukan sekadar bagi orang Islam belaka, tetapi bagi semua umat manusia yang menjunjung tinggi kebenaran.
Ahirnya dengan lantang Tan Malaka bergelegar “Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi”. Kematian menjadi bukti bahwa kebenaran akan tetap berdengung melintasi masa demi masa.***
Ahmad Naufel, Pengelola Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta