RANGGI

Bedah Novel Gema Melantun

Seni Budaya | Minggu, 31 Januari 2016 - 12:12 WIB

Bedah Novel  Gema Melantun
Dari kiri, Penulis, Dhama Dove, moderator, Monda Gianez, dan narasumber, Taufik Ikram Jamil dalam launching dan bedah buku Novel Gema Melantun di Perpustakaan Soeman HS, KAmis (21/1/2016).

Sesuatu yang dikehendaki manusia, atau pun sesuatu yang tidak, mungkin tidak terlalu penting untuk dipikirkan. Karena manusia ini terbatas, harus takluk sama waktu. Lanjut Dhama, barangkali saja waktu belum berpihak kepada kita. Bagaimana pun manusia sudah menyajikan sesuatu tapi kalau waktunya belum, tidak bisa juga. Diibaratkan seperti kabut, kalau tidak jeli, maka akan berkutat diseputaran itu saja. Tapi kalau dilihat-lihat, akan ada titik tertentu yang nantinya bersinar dengan sendirinya.

“Ada kekuatan yang tidak terbatas. Menurut saya, kita tak bisa bergantung pada manusia karena ada yang lebih tinggi, tak bisa bergantung pada uang, karena masih ada yang agung dari itu semua.  Pasti ada yang lebih besar kalau tidak bisa didapatkan di waktu ini. Dan akhirnya satu-satu akan terjawab. Jadi tidak masalah, apa yang menjadi sebab yang penting apa yang saat ini.  misalnya, setelah saya bikin beberapa karya, tak tahu mau dikemanakan, lalu akhirnya berjumpa dengan teman lama, dan menujukkan bagaimana untuk menerbitkan buku. Jadi seperitnya, kita ditempatkan pada suatu tempat, di luar kekuatan kita,” jelasnya panjang lebar.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pergulatan pemikiran akan eksistensi kehidupan Dhama Dove juga tertuang  dalam novel pertama yang berjudul Semburat Jingga Hijau. Sebuah novel yang terinspirasi warna-warna cakra, pelangi. Katanya, setiap warna itu mewakili filosofi tertentu.  Sedangkan novel ke dua, berjudul Senandung Nokhtah. Novel ini berangkat dari ide tentang kata hati.   Kadang untuk mendengarkan kata hati itu sendiri butuh ruang ragawia yang bersih. Kata hati bagi Dhama sangat berbeda dengan perasaan. Ianya sesuatu yang sakral, tidak sama dengan perasaan, sesuatu yang luhur,

“Ada kekuatan lain di luar kekuatan yang kita punya. Seolah-seolah mau mengatakan urusan kita bukan hanya melulu masalah fisik. Dan bukan pertanyaan melulu, tapi kita sudah harus lebih menyerap lagi hakikat kehidupan ini.  Seperti misalnya, momennya jangan dilihat dari apa yang ada di depan tapi lihat juga apa yang ada dibelakang. Tapi saya tidak pernah mengkalim aliran dari karya-karya saya, tiap orang terserah mau menilai apa karya ini,” tutup Dhama Dove yang juga mengakui tidak bisa menulis puisi ini.

Sedangkan waktu menulis, disebutkannya tidak ada jam wajib dan ritual khusus. Kadangkala, sengaja untuk duduk menulis, malah tidak keluar idenya. Jadi tidak pernah direncanakan. Kehendaknya untuk menulis mengalir saja. “Ya, kalau dicari sebabnya kenapa menulis pun saya tak bisa jawab, tetapi yang pasti,  saya suka baca dan nulis. Misalnya, ketika mendengarkan musik, tiba-tiba ada hasrat untuk menulis, ya saya menulis.  Ada serbuan kata-kata yang kadangkala harus ditulis. Tapi kalau sedang tidak ada, yang memang tak menulis sedikit pun,” tutupnya.(fed/jef)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook