RANGGI

Bedah Novel Gema Melantun

Seni Budaya | Minggu, 31 Januari 2016 - 12:12 WIB

Bedah Novel  Gema Melantun
Dari kiri, Penulis, Dhama Dove, moderator, Monda Gianez, dan narasumber, Taufik Ikram Jamil dalam launching dan bedah buku Novel Gema Melantun di Perpustakaan Soeman HS, KAmis (21/1/2016).

Menulis Sebagai Pengabdian Seorang Hamba

Novel Gema Melantun itu sendiri seperti yang dijelaskan penulisnya, Dhama dove merupakan karya ke tiga. Novel pertamanya yang berjudul Semburat Jingga Hijau telah diterbitkan tahun 2013, menyusul  setelah itu di tahun 2015, sebuah novel berjudul Senandung Noktah.  Sebelum itu juga, karya cerpennya sudah pernah dimuat dalam antologi kumpulan cerpen bersama cerpenis Indonesia lainnya berjudul Perempuan, Cinta, Masa Lalu.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Bagi perempuan kelahiran tahun 1976 itu, menulis merupakan bagian dari pengabdian hamba kepada sang khalik. Katanya, kalau tidak menulis apa yang diberi sang maha kuasa, berdosa juga rasanya.

Diakuinya, semua kisah di dalam karya-karyanya mengalir begitu saja seiring dengan apa yang tertangkap melalui indera, kemudian mengendap dengan sendirinya. Lalu, adakalanya yang mengendap itu, rasanya tidak terbendung untuk segera dikisahkan dengan tulisan. Setiap karya yang ditulis, hampir tidak ada latar belakang, visi dan misi nya mau kemana, sekedar menulis saja. “Proses nulis apa yang ada di “ruang rasa”, begitu saya menyebutnya. Jadi mungkin kita sekedar meraba atas apa yang kita punya ini. Cuma sebagai wahana dari alat, begitu,” ujarnya.

Kisah-ksiah yang terlahir juga adakalanya berasal dari sesuatu yang di luar indera sehari-hari, entah itu disebut indera keenam. Kata Dhama, ada beberapa hal yang sebenarnya lengah dari perhatian manusia. Tentang sesuatu yang mungkin direkam dari mata, telinga, secara tidak sadar, terserap begitu saja dan mengendap lalu menjad tulisan.

Sedangkan kecendrungan jenis atau aliran dari karya-karya yang telah dilahirkan Dhama Dove, juga disebutkan sebagai karya yang tidak terlalu merungsingkan masalah aliran artinya tidak pernah diarahkan tetapi sebagai seorang yang merupakan alumni dari Universitas Nasional-Jakarta, Jurusan Sastra Inggris dan juga Pasca Sarjana di Sanata Dharma, hal yang berbau filsafat, psikologi hadir begitu saja dan terbungkus dalam pemikiran-pemikiran feminisme. “Barangkali bernagkat dari latar belakang saya juga. Secara tidak langsung ke semuanya itu terkemas dari logika saya,” ujarnya.

Seperti halnya novel berjudul Gema Melantun, sebenarnya berbicara tentang suatu yang didengar secara tidak langsung, apakah itu suara bathin yang mengetuk, ketukan itu disebutkan Dhama agak menganggu juga kalau dibiarkan.  Kalau pura-pura tidak didengar.  Suara yang seperti itu kadang perlu untuk tidak dihiraukan, seperti halnya perrtanyaan apa yang menjadi sebab dari sesuatu. Tapi akibat setelahnya itu yang perlu dihadapi.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook