OLEH SHOFIYATUZ ZAHROH

Narasi Sufisme dan Estetika Lokal

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 01:18 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Bahasa dan Intertekstualitas

Pesona karya Gus Mus yang banyak menyuguhkan nilai-nilai sufistik tidak hanya membuat tertarik media untuk memublikasikannya, akan tetapi karya Gus Mus juga banyak menyita perhatian banyak kalangan termasuk para budayawan sendiri. Ada yang mencoba menyandingkan karya Gus Mus-Gus Jakfar-dengan estetika lokal. Salah satu budayawan yang tercabik kesadarannya akan transendensi, dan mewujudkan empatinya sebagai pembaca dengan mencoba menarik karya Gus Mus pada ranah makna dan estetika.

S Prasetyo Utomo dalam salah satu Koran nasional pada tahun 2006 juga berusaha mengorek karya Gus Mus, Gus Jakfar. Waktu itu, S Prasetyo Utomo menyandingkan nilai-nilai sufistik dengan estetika lokal. Bagi S Prasetyo Utomo karya Gus Mus sedikit kehilangan tajinya karena idiom-idiom yang dikonstruk dengan setting budaya lokal Jawa, dan budaya pesantren. Sehingga bagi S Prasetyo Utomo nilai-nilai lokal yang coba diselipkan di dalam karya Gus Mus-Gus Jakfar-menjadi batu sandungan bagi karya Gus Mus sendiri untuk menyampaikan nilai-nilai sufistik kepada pembaca, karena baginya karya yang coba dibangun di atas kearifan-kearifan lokal memerlukan penjelasan-penjelasan atau catatan kaki, sehingga karya macam itu bagi S Prasetyo Utomo tidak bisa dimaknai dalam pemahaman estetika pembaca yang berasal dari kultur luar Jawa dan bukan berasal dari lingkungan pesantren.

Sah-sah saja bagi S Prasetyo Utomo sebagai pembaca untuk menanggapi karya Gus Mus, paling tidak minimal ia telah menunjukkan sikap empatinya sebagai pembaca. Akan tetapi pada dasarnya karya sastra-termasuk cerpen-dan nilai-nilai sufisme itu tidak terikat oleh dimensi ruang-waktu akan tersampaikan makna dan kekuatan estetiknya. Karya Gus Mus yang bernuansa pesantren dan kuat akan kultur lokalitasnya merupakan sebentuk realitas intertekstualitas. Artinya, Gus Mus dalam konteks ini hanya mentransmisikan narasi-narasi sufisme yang berkembang di negeri pasir yang kuat akan nilai-nilai kulturnya, kepada ruang lain yang juga kuat akan nilai kulturnya, sebab tidak mungkin narasi sufisme berkembang di dalam ruang yang tidak memiliki budaya, hal itu sah-sah saja dan persoalan itu adalah persoalan kodrati yang tidak mengurangi citarasa estetiknya.

Terlepas dari hal itu semua, karya sastra macam ini menjadi sangat menarik untuk dikonsumsi di tengah dunia industri sastra kita yang sedang disergap dan terjebak pada narasi yang mengalir dari kalangan selebriti dengan obsesi perselingkuhan, seks, kosmopolitan, penuh fantasi dari dunia yang tidak dikenal dan menyiratkan realitas artifisial semata-mata.***

Shofiyatuz Zahroh, mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial (IKS)UIN-Sunan Kalijaga, Yogyakarta.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook