OLEH SHOFIYATUZ ZAHROH

Narasi Sufisme dan Estetika Lokal

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 01:18 WIB

BAGIKAN



BACA JUGA


Kisah tentang sufisme menjadi semacam virus dan anti klimaks.  Perjalanan kesufian dari waktu-kewaktu ter-remajakan oleh intuisi yang memiliki akselerasi tinggi untuk mencapai dimensi rasa paling hakiki. Pesona sufisme mejadi semacam kegandrungan tersendiri kemudian bagi para ulama yang penyair, untuk menggemburkan narasi sufisme itu dalam sebuah ulasan singkat atau pun cerita pendek, sebagai langkah plastis untuk mentransvaluasi nilai transendensi yang tidak terjebak pada mistisisme dan absurdisme yang mengada-ada.

Salah satu ulama yang penyair dan mengkonstruk narasi sufisme di dalam karyanya adalah, Gus Mus. Kita mengenal Gus Mus sebagai salah satu pencerita yang lugas, ia menulis cerpen dengan struktur narasi yang lazim dimengerti oleh pembaca. Tokoh yang dibangun oleh Gus Mus di dalam cerpennya sangat dekat dengan keseharian Gus Mus sendiri, demikian pula juga dengan setting cerita yang dikonstruk di dalam cerpennya, sering dan bahkan sangat kompleks dengan nilai-nilai kepesantrenan, sebagaimana dia tinggal dan banyak menghabiskan waktu.

Mari kita ingat kembali salah satu cerpen Gus Mus yang bernuansa sufistik, Gus Jakfar. Cerpen Gus Mus ini pada waktu itu sangat menghentak, dan sempat menghipnotis media untuk kemudian karya-karya Gus Mus menjadi semacam incaran tersendiri untuk mengisi kolom sastra. Pada cerpen itu kita dapat menemukan nilai-nilai religiusitas yang menjelma sebagai narasi sufisme. Dalam cerpen itu Gus Mus mampu menjelmakan kisah kesufian itu dalam narasi yang memaksa empati pembaca. Oleh karena Gus Mus mampu mengintimkan antara realitas dan imajinasi dengan begitu liat, pembaca tidak terjerembab di dalam problematika irasionalisme, meskipun kisah tentang kesufian terkadang sedikit menyeret pembaca pada makna yang irasional.

Di hadapan karya Gus Mus-Gus Jakfar-ada semacam candu di dalam diri yang berwajah kritik ekspektatif. Kritik ekspektasi itu sendiri merupakan suatu fragmentasi dari implikasi narasi sufisme yang dibangun Gus Mus di dalam cerpennya, menggugah kesadaran akan transendensi. Wajar kemudian jika pembaca merasa kurang dan ingin melanjutkan lagi narasi yang lain yang bernuansa sufime. Selain karena estetika yang dibangun Gus Mus di dalam cerpennya tidak sekadar membaurkan akan tetapi bahkan menyatukan antra yang realis dan yang imajinatif. Kesaktian karya Gus Mus juga karena berdiri di atas realitas dan kebenaran yang tidak disadari sebelumnya oleh para pembaca.

Realitas atau kebenaran yang tidak disadari dalam kacamata fenomenologi Husserl, disebut sebagai realitas prareflektif yang masih belum terabstraksi, dan tidak tersentuh oleh apapun yang berwarna dekoratif. Husserl dalam kajian ini, menyuguhkan kompleksitas dan berjubel kerumitan untuk membuat pembaca mengerti dan menyadari realitas dan kebenaran yang murni itu. Akan tetapi di tangan Gus Mus, realitas dan kebenaran yang sebelumnya tidak disadari oleh siapapun, menjadi gurih dan renyah di hadapan para pembaca.

Hal ini menunjukkan betapa kesaktian bahasa sastrawi menampung dan mengolah bahasa dengan metafor yang sederhana, akan tetapi tidak berarti bahwa yang filosfis kalah mandraguna dari yang metaforis, sebab antara yang metaforis dan yang filosofis juga sama-sama dapat mengungkapkan realitas. Dua entitas yang berbeda ini terbukti sama dapat menyampaikan realitas pada cerpen Gus Mus yang tidak hanya tunduk pada metafor untuk mengkonstruk narasi sufismenya, akan tetapi juga sarat akan nilai-niali filosofis yang membuat karya itu menjadi demikian kompleks dan terasa purna.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook