OLEH ABDUL HAMID NASUTION

Mengeja Islam dalam Karya Griven H Putera

Seni Budaya | Minggu, 15 November 2015 - 02:18 WIB

Maka ketika membaca beberapa karya prosa (cerita pendek) Griven, kita akan mendapati ruh Islam dalam karyanya cukup kental meskipun terkadang masih terdapat juga simbol. Seperti dalam cerita "Cincin Sulaiman" yang terbit di harian Republika edisi 26 April lalu. Ia mengisahkan sosok Sulaiman yang terus termenung, setelah cincinnya diambil Syekh Awal pemimipin pengajian di kampungnya. Perasaanya begitu gundah, serasa ia telah kehilangan separuh jiwanya lantaran cincin yang memberi tuah pada dirinya dari pemberian orang misterius itu tak lagi mengikat jari manisnya.

Dalam frasa berikut ini dapat dibaca bahwa ada hal yang dilarang Islam pada setiap muslim agar tak mengagungkan benda-benda yang dapat menimbulkan persekutuan iman pada Allah, “Ketika memakai cincin itu, ia merasa semua orang segan dan sayang kepadanya sehingga ia merasa rezekinya terasa mengalir tak pernah tersendat seperti sebelum memakai cincin itu.” Seperti realitas pecinta batu mulia sekarang ini, sangat banyak kalangan muslim yang meyakini, bahwa batu yang mereka pakai membawa tuah bagi dirinya. Padahal yang  demikian jelas telah dilarang Islam.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Batin Sulaiman terus bergolak atas kepergian cincin itu, tambah lagi karena godaan dan paksaan istrinya cincin itu harus diambil dari Syekh Awal. Namun dengan lunglai dan wajah lesu Sulaiman membawa jiwanya untuk mengingat sang pencipta. Berkali-kali ia minta ampun dan istigfar untuk menenangkan jiwanya, bacaannya makin cepat. Namun kekesalan dalam hatinya tak kunjung hilang, keridoan hatinya tak mengiringi kepergian cincin itu. Lalu ia tertunduk dalam tepekurnya yang panjang di mushala kecil di sudut rumahnya. Tak menyadari ia pun tertidur sehingga azan shalat Isya saja tak lagi ia dengar.

“Anakku, puncak teringgi dalam perjalanan spiritual adalah menjadi hamba yang mukhlisin dan akan berbuah mukhlasin. Dan itu sulit sekali mencapainya, Nak. Kita harus ikhlas dengan semua ketentuan Ilahi. Ikhlas menerima segalanya. Tuhan tak pernah bermaksud buruk kepada hamba-Nya. Ketika sesuatu diambil dari sang hamba, maka sesuatu itu belum atau kurang baik bagi hamba-Nya tersebut. Jadi, jangan sedih dengan kepergian sesuatu yang engkau cintai dan jangan terlalu gembira dengan anugerah yang engkau terima. Nikmat dan bencana keduanya bernilai sama; sama- sama ujian Tuhan buat sang hamba. Ingat ihklas, ikhlas, ikhlas. Ikhlaskan sesuatu yang pergi darimu. Yang mesti engkau takutkan hanyalah kehilangan Dia. Jika Dia pergi darimu, maka habislah engkau.”









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook