OLEH AL MAHFUD

Narasi dari Para Pejuang Literasi

Seni Budaya | Minggu, 15 November 2015 - 07:06 WIB

Makna pahlawan kini menjadi luas. Sebab bangsa telah merdeka, kepahlawanan tak lagi tentang perjuangan dan pengorbanan melawan penjajahan. Sekarang, tiap Hari Pahlawan diperingati, setiap itu pula makna pahlawan semakin luas kita maknai.

Biasanya, momentum Hari Pahlawan dijadikan ajang mengingat dan menanamkan nilai-nilai perjuangan. Semangat perjuangan para pejuang bangsa ini diresapi dan diteladani. Orang-orang melakukannya dengan berbagai cara. Mulai dengan menonton film-film sejarah atau tokoh-tokoh pahlawan, sampai mencari sosok di lingkungan sekitar yang bisa dianggap sebagai pahlawan; orang tua, guru, pejabat inspiratif, sampai petugas kebersihan dan aktivis lingkungan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Namun, ada satu ruang yang jarang terjamah dalam semarak Hari Pahlawan. Ruang yang tidak pupuler karena tak banyak diminati masyarakat. Ruang yang tidak banyak disorot media—terutama televisi, karena memang tidak komersil. Padahal, di sana ada heroisme dan perjuangan penting di tengah masyarakat, yang pada gilirannya berpengaruh besar terhadap generasi muda bangsa. Mereka adalah para pejuang literasi yang tersebar di pelbagai pelosok negeri.

Kita masih ingat kisah tentang Ridwan Sururi. Seorang perawat kuda dari Desa Serang Karangreja Purbalingga Jawa Tengah. Ia “menyulap” kuda menjadi perpustakaan kelilling bernama “Kuda Pustaka”. Dua rak kayu yang penuh buku, diletakkan di punggung kuda. Setiap hari, ia bertandang ke sekolah-sekolah untuk menyediakan buku bacaan bagi anak-anak (SM,13/3).

Di Makassar ada Alimudin dan teman-temannya yang membuat “Perahu Pustaka”. Sebuah perahu yang memuat ribuan buku dan mengarungi pulau-pulau kecil di sekitar teluk Makassar untuk menyediakan akses bacaan bagi masyarakat, terutama anak-anak. Di Jombang, ada pemuda bernama Wahid yang berkeliling membawa buku bacaan dan mendirikan taman baca bagi anak-anak di lingkungan sekitarnya.

Di Sidoarjo, ada Muhammad Fauzi, seorang penjual jamu tradisional yang mengisi bak kayu di sepeda motornya selain dengan botol-botol jamu, juga dengan puluhan buku untuk disewakan gratis pada pelanggan jamunya. Lagi, di Ende, ada Hifni Jafar ketua rumah baca Rumah Kreatif Sahabat Nusantara (RKSN) yang mengkampanyekan literasi kepada anak-anak nelayan di  Dusun Tanjung, Ende, Nusa Tenggara Timur.

Tentu masih banyak deretan sosok inspiratif lainnya di berbagai daerah yang “diam-diam” bergerak membangun budaya membaca di masyarakat. Mereka melakukan aksi nyata dengan menyediakan akses bacaan lewat beragam bentuk. Kebanyakan, di berbagai wilayah di Tanah Air, muncul perpustakaan mandiri berbasis komunitas. Yayasan 1001 Buku, sebuah jaringan relawan pengelola taman bacaan anak, pada tahun 2015 telah mencatat ada lebih dari 350 rumah baca yang berada di bawah jaringannya (Republika,9/8). Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak pejuang-pejuang literasi di berbagai daerah.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook