OLEH ZUARMAN AHMAD

Be(r)lagu

Seni Budaya | Minggu, 25 Oktober 2015 - 00:40 WIB

“Lagu” dan “berlagu” berkait-kelindan dengan sajak, walaupun menurut Andriessen, “Terikatnya bahasa adalah soal nisbi, sebab apa yang disebut penyusunan musik mengenai unsur yang paling wujud dari sajak.” Dalam hal ini Andriessen hanya menyinggung sajak-sajak yang bermutu, dimana perasaan yang paling asli tetap hidup sampai kepada serabut sekecil-kecilnya kata-kata.

Walaupun banyak susunan kata yang bersajak dan berirama yang baik tapi yang tak mengandung musikalitas menurut Andriessen tidak termasuk apa yang ia maksud. Hal ini sejalan dengan pemikiran Penyair Albert Verwey yang menulis bahwa, “Yang kita ucapkan tidak lain daripada irama-irama yang memaksa keluar dari diri kita, tapi kita tahu, bahwa sebelum mereka hadir dalam diri kita, mereka dalam bawah sadar bersatu dengan yang telah mati, yang kita sebut birama-birama. Birama-birama sebetulnya adalah hal-hal mati yang mengerikan. Tidak ada yang melihat mereka, kita hanya melihat semata-mata irama-irama.” Karena itu Verwey menyimpulkan bahwa, “Baik penyair maupun musikus hanya mengenal irama dan untuk mereka birama tidak ada.”

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sajak yang baik menurut Andriessen merupakan nyanyian, karena kata-kata berhubungan dan memberikan bentuk. Kata-kata merupakan dorongan bunyi melodi, sehingga lagu yang baik merupakan suatu kesatuan vocal dan instrumental, yakni sajak meliputi suara nyanyian. Pikiran Andriessen ini sejalan dengan Wilhelm Muller. Seorang penyair lagu-lagu Die Schoe Mullerin (Mulerin yang molek) merasa kekurangan bagi dirinya karena ia tidak mempunyai bakat menciptakan musik, karena itu menurut Muller sajak-sajak akan lebih berbicara jika ia melarutkan melodi pada sajak-sajaknya. Oleh itu/ini, karena merasa belum dapat membubuhkan dan meliputi melodi pada sajak, barangkali hanya satu puisi yang dapat saya tulis ketika peristiwa sunami Aceh, yakni “Di Kaki Baiturrahman”, atau saya memang hangkong membuat sajak (puisi)?

Supaya tidak salah tafsir, memasukkan (melarutkan) melodi pada sajak atau puisi menurut pendapat Wilhelm Muller itu/ini bukanlah alihmusik sajak atau puisi yang disebut di Indonesia dengan musikalisai puisi atau sebagaimana yang dibahas oleh Hendrik Andriessen di atas. Jika pun peristiwa sajak atau puisi yang dalihmusikkkan sebagaimana yang disebut dengan musikalisasi puisi atau musikalisasi sajak, inilah yang disebut dengan “lagu”. Pada hal (pasal) ini saya sangat merasa heran juga ada satu dua orang kawan yang berani menjadi juri, misalnya ia yang tidak mengerti musik menjadi juri (sebut saja) lomba bersyair (membaca dengan berlagu syair); apakah ia mengerti irama, musik? Sama hangkong-nya dengan dinas-dinas di Riau ini yang meminta kawan saya itu menjadi juri, karena itu janganlah “belagu”. Usul saya, penuhi dirimu dulu dengan pernyataan yang ditulis oleh Prof. Hendrik Andriessen: “Kalau seseorang dipenuhi oleh musikalitas, maka dalam dirinya hidup intuisi bahwa musik tidak memerlukan puisi, sebab ia sendiri adalah puisi.” ***

Zuarman Ahmad, pemusik, composer, arranger, pensyarah/ pengajar musik Akademi Kesenian melayu Riau (AKMR), penikmat sastra, penulis cerita-pendek, Wapimred Majalah Budaya Sagang, penerima Anugerah Seniman Pemangku Tradisi Prestasi Seni/Musik 2005, Penerima Anugerah Sagang 2009, dan penikmat ajaran suluk (sufi).









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook