ULAR TANGGA, MINI TEATER RENGAT

Mengeluh, Jalan Menuju Kematian

Seni Budaya | Minggu, 20 Januari 2019 - 20:20 WIB

Mengeluh, Jalan Menuju Kematian

Ditambahkannya, lahirnya sebuah karya adalah upaya untuk mewakili sebuah dimensi waktu dalam sebuah peradaban alias prosesnya sama dengan melahirkan seorang anak dalam siklus kehidupan. Sudah pasti teater harus dilakukan dengan daya juang.

Apakah teater harus militan? Tidak juga. Tapi yang lebih tepat teater harus makmur. "Berikan sesuatu kepada teater maka teater akan memberikan sesuatu buat dirimu," ujar Ade berfilosofi.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Karya ini dimulai dalam perjalanan penulisan semenjak November 2017 hingga pasang surut dalam proses penggarapan hingga akhir 2018. Hampir seluruh cuplikan karya sebenarnya sudah di-share melalui status ataupun halaman diskusi pada sebuah laman jejaring sosial media. Impeck dari diskusi dan tanggapan status tersebut kemudian kembali menjadi rujukan kembali dalam proses penyempurnaan karya.

Bahwa perjalanan sebuah karya tidak melulu menghasilkan sebuah hasil saklek dan matang pada ending pementasan. Karya akan terus berlanjut walaupun layar sudah tertutup kembali rapi. "Ular Tangga" hanya sebuah permainan dalam rangkaian proses karya Mini Teater kali ini. Layaknya sebuah permainan makan ia tidak akan pernah usai dan terus akan mengalami penyempurnaan hingga hitungan kali dalam setiap pementasannya di beberapa titik tujuan.

"Kapan karya ini sempurna? Maka karya yang sempurna hanya milik Allah SWT. Amin," katanya.

Seulas tentang Karya

Seorang Firldtrip Performing Art Muhammad Ilham Akbar menulis, Mini Teater, telah memberikan pengalaman batin yang cukup unik, lewat sajian lakon "Ular Tangga" karya Ade Puraindra. Tak lupa, kepada Fieldtrip Performing Art yang memiliki andil besar atas tersajinya lakon tersebut.

Ketika pertama kali mendengar judul lakon ini, kita akan kembali diingatkan pada memori saat bermain bersama kawan permainan ular tangga. Perasaan senang karena nomor dadu yang diundi membuat bidak yang dimainkan menaiki tangga, memintas petak menjadi lebih dekat dengan petak terakhir. Atau pun rasa kesal semisal bidak yang dimainkan harus turun ke petak yang cukup jauh, padahal bidak yang dimainkan sudah cukup dekat ke petak terakhir.

Tapi, Mini Teater tidak menyuguhkan sama sekali permainan ular tangga itu ke Wonosobo, Yogyakarta dan Solo. Tidak ada papan permainan, bidak, dadu, tangga maupun ular. Mini Teater, tidak menghadirkan itu semua.

“Ular Tangga” yang dibuat oleh Ade Puraindra, menyajikan sepasang laki-laki dan perempuan dalam ikatan suami istri. Mereka adalah Tembaga dan Yatou. Menjalani lika-liku pernikahan dengan segala aral rintangan yang menghampiri. Menyatukan dua latar belakang yang bertolak belakang, membuat Tembaga (diperankan Aang Supiandi dan Yatou (diperankan Feni Agusta Indriana) harus berjuang keras melanjutkan hidup. Terlebih, mereka baru saja mendapat cobaan dengan meninggalnya sepasang kembar yang masih dalam kandungan. Sedang tokoh Sosok dilakonkan Muhammad Tegar.

Tembaga adalah seorang teaterawan dengan kobaran semangat yang berapi-api. Semangatnya membuat perlawanan pada pemerintah melalui karya-karyanya, harus melawan terjalnya realitas. Terlebih setelah anak kembar yang meninggal di usia lima tahun, sang istri dikaruniai seorang anak. Tembaga hidup dalam kontradiksi, antara idealisme kekaryaan yang tak pernah padam dan kebutuhan hidup sang istri beserta anak yang menuntut dipenuhi. Karena profesi menjadi seorang Teaterawan, tidak sama dengan profesi Pegawai Negeri Sipil, Pedagang, atau berbagai macam jenis pekerjaan lain yang memiliki nominal pendapat yang bisa dipastikan.

Dia adalah wanita tangguh berperawakan jantan, bernama Yatou. Anak dari saudagar Cina yang rela menjadi istri kedua dari karya-karya sang suami. Adalah keputusan terbesar untuk menikahi Tembaga karena konsekuensi yang ia dapatkan adalah dicoret dari daftar warisan. Sebab keluarganya tak pernah menyetujui pilihan tersebut. Sambil mengurusi sang bayi, dia berharap kepada hasil buruh cucinya agar bisa menopang kebutuhan hidup keluarga kecilnya.

Dengan segala permasalahannya, mereka berjuang keras mempertahankan pernikahan. Diantara karya-karya yang tak pernah mendapat pengakuan dan tangisan lapar dari sang bayi, hingga menu masakan yang selalu monoton, akhirnya Tembaga dan Yatou sampai pada titik bahwa hidup yang sedang mereka jalani ibarat permainan ular tangga. Entah pada petak keberapa mereka menemui ular yang harus membuat mundur beberapa petak, atau menaiki tangga hingga mereka semakin dekat ke petak terakhir. Hingga akhirnya, mereka sampai pada petak terakhir yang mengharuskan Tembaga ditinggal mati oleh sang istri.

Layaknya ingatan masa kecil, sajian ular tangga dari Mini Teater pun memberikan perasaan yang sama ketika ditonton. Dengan gagasan ular tangga, lakon ini terasa sangat menarik untuk dipahami karena upaya mengkontekstualisasikan permainan ular tangga pada perjalanan hidup Tembaga dan Yatou. Permainan tersebut terasa sangat cukup sederhana, namun kaya muatan nilai hidup yang bisa kita pelajari. Terlebih pernikahan, adalah suatu bentuk bagian dari usaha melanjutkan hidup dengan berbagai macam rintangannya. Terlebih, pertunjukan ini menjadi makin manis dengan cita rasa Melayu yang menjadi modal kebudayaan yang lakon ini miliki. Ketika menikmati pertunjukan ini, telinga dibuat merinding dengan Nandung yang terlantun sebagai nasihat-nasihat bagi anak manusia dan tari Olang-Olang. Dengan percakapan rumah tangga khas Melayu, penonton seakan-akan sedang berada di pulau Sumatera.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook