PUTU WIJAYA

"Teror Mental"

Seni Budaya | Minggu, 15 April 2018 - 10:54 WIB

"Teror Mental"
Putu Wijaya

BAGIKAN



BACA JUGA


Tokoh teater Indonesia Putu Wijaya dikenal sebagai penyebar "teror mental" bersama Teater Mandiri (Jakarta) yang dibentuknya. Tidak hanya dalam karya panggung, bahkan dalam berbagai karya tulisnya, baik naskah drama maupun cerpen

(RIAUPOS.CO) - MAKA untuk memperingati 47 tahun masa berkaryanya, Teater Mandiri menggelar sebuah perhelatan bertaraf nasional. Helat itu adalah Lomba Drama Pendek (Drapen) dan peluncuran buku hibah 100 drama pendek karya Putu Wijaya sendiri.


Meski baru pertama kali digelar, lomba drama pendek tersebut ramai peminat. Salah satunya, Sanggar Mini Teater, Rengat (Indragiri Hulu). Komunitas asal Kota Rengat itu bergabung bersama komunitas provinsi lainnya seperti Aceh, Lampung, Banten, Jakarta, Depok, Tegal, Karawang, Yogyakarta, Malang, Palu, dan daerah lainnya. Kerja sama Tester Mandiri, Djarum Foundation, dan Galeri Indonesia Kaya itu berlangsung, 10-12 April di Grand Indonesia, West Mall, lantai VIII, Jakarta.

"Lomba drapen sendiri, baru pertama kali dilaksanakan secara nasional. Dan tepatlah, bahwa drapen sendiri memang dipopulerkan tokohnya sendiri, Putu Wijaya. Saya sendiri tertarik untuk mengikuti helat itu agar lebih memahami secara mendalam, apa itu drapen?" ulas Sutradara Sanggar Mini Teater Rengat, Adepura Indra kepada Riau Pos, Jumat (23/4) lalu.

Utamakan Gagasan

Drama pendek sendiri adalah sebagai suatu pengungkapan oleh Putu Wijaya. Ia serupa drama pendek  cerpen dalam dunia fiksi. Durasinya cendrung memang pendek. Mengutamakan ide dengan kemungkinan pemaparan visual yang sederhana. Drapen berkutat di sekitar  persoalan remeh-temeh yang sepele tapi lucu, kadang aneh, bahkan mendadak bisa bikin "onar".

"Teror mental" tidak berarti sebagai gebrakan radikal yang menghancur-luluhkan, tapi sapa "usil" yang berhajat membuat "ngeh". Ia dituturkan dengan format fiksi, agar pembaca yang tidak akrab dengan dunia teater tidak serta-merta mencampakkannya. Drapen juga adalah titipan pada seni pertunjukan, bahwa tontonan bisa dibuat dengan murah-mudah dari hal-hal yang sederhana.

"Kebersahajaan tidak selalu bertolak dari perlawanan pada kemiskinan dan kebodohan. Karena itu juga pilihan, hasil pemikiran yang matang dan masak. Apalagi kalau itu bisa merupakan usaha untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang lain," ulas Putu Wijaya dalam pengantarnya.

Semua hal setiap detik, "bertiwikrama" jadi baru. Bukan karena baru atau diperbaharui, tapi karena baru nampak aspek yang sebelumnya tak tertangkap. Semua drapen ini adalah bahan untuk membuat tontonan. Diperlukan partisipasi seorang sutradara untuk merancang strategi bagaimana melemparkannya pada penonton yang pasti ingin melihat, mendengar dan mengalami atau mempertajam aspek apa yang sebelumnya tak tuntas mereka tangkap. Dan itu memang memerlukan bantuan pemeran yang tak hanya mengandalkan bantuan musik, kostum, rias, tata lampu, serta berbagai peralatan pertunjukan biasanya.

Bahkan yang tak hanya mengandalkan dialog, karena kehadirannya sendiri, kendati tanpa suara, sudah merupakan dialog yang padat. Walhasil drapen ini sebenarnya adalah semacam peluru untuk senapan, "Bertolak dari yang ada".

"Kiat kerja yang saya percaya akan membantu siapa pun, untuk tetap mampu bekerja dalam keadaan yang bagaimana pun papa, merana, terbatas, genting atau dengan istilah yang lebih populer miskinnya," jelas Putu Wijaya panjang lebar.

Drapen Alung karya Ade

Kopi di atas meja, asap rokok mengepung seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk menunggu koran pagi. Berita apa yang akan dimuat untuknya dibaca pagi itu. Pagi di mana hari ini bertepatan dengan hari kemerdekaan bagi seseorang yang merdeka di tanah air yang merdeka.

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook