ABDUL Wahab mungkin merupakan sebagian kecil dari orang yang tak banyak pula, memperhatikan jabatan-jabatan penting di Riau dengan status pelaksana tugas (Plt). “Mudah-mudahan status semacam ini segera berakhir meski sudah sekian lama terjadi. Arah ke sana kan sudah makin jelas terutama untuk jabatan gubernur dan sekretaris dewan,” tulisnya melalui pesan pendek telepon genggam (SMS) beberapa hari lalu.
Tak pelak lagi kalau layanan jasa komunikasi yang mulai dianggap ketinggalan zaman itu, menyusul berbagai bentuk media baru dengan berbagai kecanggihan dan lebih murah, membangun suatu ingatan di kepala saya. Bukankah sudah cukup lama daerah ini disebut serba Plt? Tak tanggung-tanggung, yang di-Plt-kan itu bukan jabatan sembarangan, bahkan berkaitatan dengan simbol daerah.
Dimulai dengan jabatan gubernur, status Plt itu juga melekat kepada Sekretaris Daerah (Sekda), padahal kedua jabatan tersebut merupakan pemegang kunci utama bagi menjalankan roda pemerintahan di daerah. Bagai sakit menular, hal serupa kemudian “menjangkiti” jabatan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Sekwan).
Malahan di lembaga legislatif daerah tersebut, telah lama tidak memiliki ketua setelah ditinggalkan Suparman sejak mencalonkan diri sebagai bupati Rokan Hulu dan kini telah bersiap-siap pula dilantik untuk jabatan nomor satu di kabupaten tersebut. Usulan sosok yang menggantikan Suparman ternyata tak berjalan mulus. Septina yang memegang mandat dari pusat untuk menjadi Ketua DPRD Riau, tampaknya tidak diinginkan DPD Golkar Riau.
Wahab tidak mempersoalkan bagaimana pembangunan dilaksanakan dalam kondisi semacam itu. Memang didengarnya berbagai hambatan terjadi, tetapi kondisi umum, termasuk membandingkan dengan daerah lain, roda pemerintahan tetap bergerak. Kesulitan ekonomi, besarnya sisa anggaran atau rendahnya daya serap anggaran, selain Riau, juga dialami merata di seluruh Indonesia. Peningkatan jumlah kemiskinan merupakan kenyataan pahit Indonesia tahun 2015 yang juga terjadi di Riau.