ESAI SASTRA

Buku dan Dokumentasi Sastra Kita

Seni Budaya | Minggu, 06 Maret 2016 - 00:30 WIB

Pemutakhiran arsip sastra mengabaikan fungsi dokumentasi yang sesungguhnya. Fungsi itu digantikan fungsi buku sebagai barang komoditas dunia industri penerbitan buku, dan para sastrawan terjebak memperlakukan karya sastra sebagai komoditas tanpa jelas relasinya dengan hakikat sastra yang sesungguhnya.

Ketika kita membaca buku sastra, laku membaca itu  akhirnya sebuah redunden. Kita sudah pernah membaca karya-karya itu, karena sebelumnya pernah disiarkan di media cetak. Novel yang kita baca, sudah lebih dahulu muncul sebagai cerita bersambung. Begitu juga buku cerpen dan buku sajak. Beberapa buku yang pernah mendapat penghargaan sebagai karya sastra terbaik sesungguhnya hasil penerbitan ulang dari karya yang pernah kita baca di media cetak.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Buku akhirnya kehilangan peran yang sebenarnya. Bukan lagi sumber ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup, tapi semata barang dagangan yang diukur berdasarkan konversinya ke dalam rupiah. Para sastrawan pun menjelma menjadi pedagang, memperjualbelikan buku barunya kepada siapa pun.

Dalam kajian komunikasi, bila buku kita pahami sebagai medium bagi penulis untuk mengkomunikasikan sebuah informasi, maka buku sastra tak lebih dari berita yang diulang atau siaran ulang. Di dalam dunia televisi,  siara ulang atau malah daur ulang (the old diatribes) dilakukan bukan untuk menyampaikan informasi penting agar masyarakat lebih memahami fakta yang ada, tetapi karena pengulangan itu membawa keuntungan finansial akibat didukung para pemasang iklan.

Pengulangan berita adalah strategi bermedia yang disemangati (dirongrong) politik bisnis dengan agenda yang tak bisa lepas dari idiologi tertentu. Pengulangan penyiaran karya sastra dalam bentuk buku sastra, yang seakan-akan sesuatu dengan  aktualitas tinggi,  padahal hanya untuk memuaskan hasrat idiologi tertentu. Sastrawan mungkin tidak pernah memikirkan soal itu, karena buku punya relasi yang serius untuk mendongkrak popularitasnya. Sastrawan merasa diuntungkan. Buku, bagi sastrawan punya derajat yang sama seperti proklamasi. Buku menjadi pengukuh eksistensi.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook