Kegagalan kaderisasi oleh partai sudah terlihat dari meningkatnya tren pasangan calon kepala/wakil kepala daerah bukan kader partai. Pertunjukan politik paling memalukan baru saja dipertontonkan yaitu munculnya calon tunggal di sejumlah pemilihan kepala daerah (pilkada). Parpol kehilangan kepercayaan ketika pasangan yang diusung dikalahkan kotak kosong. Lihat saja Pilwalkot Makassar pasangan Munafri Arifuddin-A Rachmatika Dewi, tak tanggung-tanggung didukung 10 parpol tumbang “dihantam” kotak kosong.
Kemudian indikasi kegagalan kaderisasi parpol semakin menjadi- jadi, parpol memasukkan tokoh figur nonkader atau kutu loncat partai lain ditempatkan di struktur kepengurusan bahkan langsung ditunjuk sebagai ketua partai. Untuk hal ini tidak perlu dicontohkan hampir semua parpol melakukan praktik demikian, dari tingkatan pengurus pusat sampai daerah.
Kasus terkini dan mencolok wajib dikritisi oleh semua pihak sebagai kepedulian mengawal proses demokrasi adalah penyusunan bacaleg DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota untuk Pemilu 2019. Di mana begitu enteng membuang, lalu “membunuh” kadernya sendiri dalam meniti karier politik. Adapun bentuk dan ragamnya berbeda- beda, parpol terang- terangan tidak mencalonkan lagi, membuang ke dapil lain (kecuali permintaan caleg, red), juga tak segan menghapusnya. Sayang sekali, keberanian mengungkap fakta di internal parpol masih menakutkan, tabu, padahal berpolitik bukan hanya mengkritisi eksternal tetapi juga perbaikan ke dalam.
Menurut Ikhsan Darmawan Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI yang dimuat koran Tempo jelang Pemilu 2019, memperebutkan kursi politik ada 4 fenomena yang terang benderang. Pertama, semakin gencarnya sejumlah ketua umum berebut kursi calon wakil presiden, kedua, politikus loncat pagar yang dicalonkan lewat parpol lain, ketiga, menteri dan selebritis kembali marak dijadikan caleg dan keempat, meski dilarang masih juga parpol memasukkan nama mantan narapidana korupsi pada daftar calon anggota legislatif.
Penulis menambahkan satu perilaku tak mendidik dalam berpolitik yaitu membunuh kader, di mana secara sadar elite parpol mematikan langkah dan karir politik kadernya sendiri dengan menggusur pada penyusunan nomor urut. Banyak yang kecewa kader ditempatkan pada nomor urut buncit, dipijak orang yang baru saja masuk partai. Malahan ada yang lebih sadis karena keterbatasan kuota, kader militan secara sadis “ disembelih” gagal atau hilang dari daftar caleg.
Penulis menekankan pada buruknya praktik parpol yang mengabaikan pengkaderan. Figur baru siapapun dia ; artis, jurnalis, budayawan, atlet, mantan PNS, dan TNI/Polri, politisi kutu loncat tidak menjadi bahasan pada tulisan ini karena memang tidak ada regulasi yang melarangnya. Meskipun disebalik itu ada siasat parpol sosok baru dijadikan figuran untuk menambah perolehan suara.
Menurut pandangan sejumlah pengamat politik perpindahan kader bukanlah sesuatu yang baik, bahkan bisa melemahkan parpol sebagai institusi demokrasi. Perpindahan kader yang berdasarkan iming-iming semata dapat mencoreng marwah demokrasi, serta menjegal upaya untuk mewujudkan parlemen yang modern, bersih, antikorupsi, dan politik representatif.
Diketahui dari data yang terekam figur baru akan begitu mudah meninggalkan dan pindah lagi ke partai lain jika keinginannya tak tercapai. Bagi sebagian orang masuk parpol mungkin bukan idealisme tetapi mengejar jabatan dengan hitungan untung rugi. Ketika kader bisa pindah begitu saja, tanpa melalui internalisasi Ideologi dan nilai-nilai yang menjadi platform partai maka partai politik tidak ubahnya seperti bisnis event organizer yang bisa menerima dan menampung siapa pun untuk menjadi caleg yang akan diusung oleh partainya.