ENTAHLAH. Apa sesungguhnya maksud kata-kata yang dikirimkan kawan saya Abdul Wahab melalui pesan pendek telepon genggam beberapa hari lalu. “Kasihan Kemenag....” Saya tidak dapat mendalaminya lebih lanjut. Sebab seperti yang sudah saya sebutkan pekan lalu, dalam bulan Ramadan ini Wahab memang jarang mengaktifkan alat komunikasinya itu.
Sekarang saja, sudah beberapa hari telepon genggamnya terkesan tidak aktif. Pesan yang saya kirimkan seperti ditelan waktu begitu saja. Menelepon, tak ada guna. Bukan tidak diangkat, tetapi memang membisu tanda tidak aktif. Tak pelak lagi, beberapa pertanyaan saya sehubungan frase yang dikirimkannya itu memang tidak bernasib baik.
Cuma, Anda juga pasti menebak bahwa lontaran kata-kata dari Wahab itu besar kemungkinan berkaitan dengan tindakan Kementerian Agama (Kemenag) yang merekomendasikan 200 nama mubalig untuk melaksanakan aktivitasnya di tengah masyarakat. Sikap lembaga sektoral itu kemudian menyerahkan persoalan mubalig kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui suatu rapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis malam lalu, justu semakin memperkuat alasan untuk mengasihani Kemenag tersebut.
Ya, mungkin Wahab merasa kasihan bagaimana Kemenag telah melakukan sesuatu yang ia juga tahu akan berdampak buruk bagi banyak pihak. Berdampak buruk bagi hubungan masyarakat dengan mubalig, masyarakat dengan negara, bahkan antara sesama mubalig sendiri. Bahasa ringkasnya adalah menanamkan rasa curiga sesama elemen bangsa.
Logikanya, kalau ada yang direkomendasikan, berarti ada yang tidak direkomendasikan. Angka sebaliknya itu jauh dan teramat jauh. Bandingkan saja dengan jumlah masjid dan musala.
Mengelak dengan mengatakan bahwa daftar rekomendasi itu dinamis yang disebut Kemenag, memperlihatkan lembaga ini melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa. Belum lagi mempersoalkan metode apa yang melandasinya.
Contohnya dalam kategori penguasaan ilmu, sejak kapan Kemenag memiliki instrumen menakar hal tersebut, sehingga menjadi acuan. Bagaimana penakaran itu dilakukan, apakah melalui pengujian fisik maupun fisikhis?
“Tampaknya asal ingat sana, ingat sini saja, sehingga konon mubalig yang sudah meninggal pun masuk dalam jaringan rekomendasi itu,” begitu kira-kira pesan yang akan saya sampaikan kepada Wahab kelak.
Hal-hal dasar itu justru yang terlepas luncas dari sikap Kemenag mengeluarkan rekomendasi 200 mubalig tersebut. Padahal, rasanya tidaklah mungkin hal itu bisa lepas begitu saja karena di Kemenag terdapat banyak orang pandai dalam berbagai hal. Tetapi oleh karena begitulah kenyataan yang terlihat, tentu pada gilirannya rasa kasihan juga yang ditujukan kepada Kemenag itu. Kasihan, karena mereka harus melemparkan pengetahuan dan sensitifitas mereka demi sesuatu yang entah untuk apa.
Ya demi apa ya? Tapi yang keluar dari mulut Menteri Kemenag Lukman Hakim Saifuddin adalah bukan politis, juga memenuhi permintaan rakyat yang makin banyak soal mubalig itu. Justru pernyataan tersebut yang sesungguhnya mengandung politis karena alasan Menteri Lukman sendiri. Ini dengan mudah dikaitkan dengan berbagai kondisi politik yang ada, dengan kecenderungan penyudutan Islam seperti memparelalkan label radikalisme maupun terorisme dengan umat Islam.
Di sisi lain, Kemenag menghadapi berbagai kasus yang berkaitan langsung dengan pekerjaannya. Penipuan biro perjalanan untuk umrah silih berganti misalnya, yang menyebabkan tidak sedikit rakyat kehilangan uang belasan juta per orang. Lembaga ini tentu tidak bisa membiarkan kejadian tersebut yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Dengan berbagai masalah di dalam dan di luar, disambut pula dengan tahun politik dan kecenderungan menyudutkan Islam, bisa saja sekarang Kemenag sedang panik.
“Iya juga ya. Kalau begitu wajarlah bila Kemenag patut dikasihani. Kan gitu maksud awak Hab?” tulis saya kepada Wahab selanjutnya tanpa memikirkan apakah telepon genggamnya aktif atau tidak.***