PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - DPRD Riau kembali menyoroti dugaan pengemplangan pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH). Kali ini raksasa grup Sinar Mas yang disasar. Di mana ada ratusan miliar dugaan potensi PSDH yang menguap. Hal itu berdasarkan data serta temuan DPRD setelah melaksanakan hearing dengan 19 anak perusahaan Sinar Mas Grup dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) baru-baru ini.
Hal itu dinyatakan Sekretaris Komisi III DPRD Riau Suhardiman Amby kepada Riau Pos, Selasa (26/2). Ia merincikan 19 perusahaan tersebut adalah PT Indah Kiat Pulp and Paper, PT Arara Abadi, PT Satria Perkasa Agung, PT Perawang Sukses Perkasa Industri, PT Ruas Utama Jaya, PT Riau Abadi Lestari, PT Sekato Pratama Makmur, PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Agung Satria Perkasa, PT Suntara Gajapati, PT Mitra Hutani Jaya, PT Satria Perkasa Agung Serapung, PT Putra Riau Perkasa, PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari, PT Bina Duta Laksana, PT Riau Indo Agropalma, PT Bina Daya Bentala dan PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa.
Dari penjelasan Suhardiman, PSDH sendiri merupakan salah satu pendapatan negara bukan pajak. Di mana penghitungannya dilihat dari hasil produksi oleh perusahaan. Dari data yang dia miliki, Sinar Mas Grup sendiri memiliki kapasitas produksi pabrik sebanyak 12 juta ton per tahun. Sesuai Peraturan Menteri LHK No.P64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017, pungutan PSDH adalah Rp8.400/ton. Jika dikalikan seharusnya PSDH yang dibayarkan mencapai Rp1,8 triliun.
Namun yang menjadi masalah, saat hearing pihak Sinar Mas Grup mengaku hanya membayar PSDH sebesar Rp84 miliar pada tahun 2018. Sedangkan dari data yang diperoleh dewan, pembayaran PSDH Sinar Mas Grup hanya sebesar Rp18 miliar. Artinya ada selisih pembayaran sekitar Rp66 miliar.
“Oke alasan perusahaan selisih tersebut dibayarkan ke daerah penghasil. Tapi mengapa penghitungan PSDH yang dibayar hanya Rp80-an miliar? tanyanya heran.
Ia kembali ke penghitungan awal. Di mana seharusnya PSDH yang dibayar mencapai Rp1 triliun lebih. Ia kemudian mengambil angka 50 persen dari perhitungan PSDH yang seharusnya. Dengan acuan, kayu yang diproduksi Sinar Mas Grup setengahnya lagi berasal dari luar Riau. Maka didapatkan angka Rp500 miliar lebih sebagai kewajiban perusahaan.
“Ini kami sebut dengan angka minimum potensi pendapatan. Jika di angka minimum Rp500 miliar lebih sedangkan yang dibayar cuma Rp84 miliar, ke mana sisanya?” pria bergelar Datuk Panglimo Dalam itu.