PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Pernyataan dua pejabat pusat, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto dan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Mabes Polri Irjen Pol M Iqbal tentang kondisi kabut asap dan kebakaran hutan di Riau dinilai tak peka dan tak layak. Aktivis lingkungan menyebut keduanya harus meminta maaf karena sudah menyakiti hati masyarakat Riau dan lebih baik mundur dari jabatannya.
Apa yang disampaikan keduanya pada awak media di Jakarta memang memantik kontroversi. Dua pejabat ini sebelumnya ikut dengan rombongan Presiden Joko Widodo yang datang ke Riau dalam kunjungan dua hari Senin dan Selasa (16-17/9) lalu.
Wiranto di Jakarta Rabu (18/9), menyebut realitas dan pemberitaan tentang kabut asap dan karhutla di Riau berbeda jauh. ''Antara realitas yang dikabarkan dengan realitas yang ada itu sangat berbeda. Dan ternyata kemarin waktu kita di Riau, itu tidak separah yang diberitakan. Jarak pandang masih bisa, pesawat mendarat masih bisa, masyarakat juga belum banyak yang pakai masker,'' kata dia.
Setali tiga uang dengan Wiranto, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen M Iqbal juga menepis anggapan yang menyatakan bahwa kabut asap akibat karhutla di Riau mengkhawatirkan seperti yang diberitakan di berbagai media. ''Saya kebetulan baru kemarin kembali dari Riau, mendampingi Bapak Kapolri dan saya sengaja satu hari di sana. Situasi sebenarnya di Pekanbaru dan sekitarnya, setelah pukul 11.00-12.00 WIB semua clear, langit biru nampak Artinya tidak seutuhnya benar apa yang disampaikan media,'' kata dia di Mabes Polri, Jumat (20/9).
Pernyataan kedua pejabat ini kemudian dipertanyakan oleh mayoritas masyarakat Riau. Karena data yang direkam baik aplikasi maupun alat pengukur kualitas udara menunjukkan hal yang berbeda.
Data dari aplikasi Air Visual yang merujuk data BMKG dan KLHK, terlihat udara di Pekanbaru sejak Kamis (12/9) lalu, rata-rata kualitas udara sudah berada di PM 10 angka 300, menyentuh kategori berbahaya. Sehari berselang, Jumat (13/9), kondisi membaik ke kisaran PM 10 di angka rata-rata 250 kategori sangat tidak sehat.
Dua hari berturut-turut setelahnya, yakni Sabtu dan Ahad (14-15/9), udara membaik lagi ke kisaran PM 10 di angka rata-rata 200, kategori sangat tidak sehat. Pada Senin (16/9), hari ketika Presiden Joko Widodo tiba di Riau, rataan kualitas udara di Pekanbaru sebenarnya malah memburuk yakni PM 10 naik ke angka rata-rata 250, sangat tidak sehat. Ini bertahan selama tiga hari. Dan puncaknya pada 19 September kemarin, rata-rata kualitas udara menembus angka di atas 300 atau dalam kategori berbahaya.
Sementara itu, dari Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Pekanbaru, data kualitas usaha yang muncul juga tak jauh berbeda. Secara umum kualitas udara Pekanbaru hampir dua pekan terakhir fluktuatif dengan kecenderungan belum membaik. Sejak Selasa (10/9) pekan lalu PM 10 di angka 111, sementara Rabu (11/9) di 118. Sedangkan Kamis (12/9) di angka 123, Jumat (13/9) 173, Sabtu (14/9) di angka 144 dan Ahad (15/9) di angka 139. Sedangkan Senin (16/9) PM 10 berada di angka 194, masuk kategori tidak sehat, Selasa (17/9) PM 10 di angka 153 dan Rabu (18/9) PM 10 di angka 165. Pada Kamis (19/9) lalu, PM 10 di angka 164 dengan kualitas tidak sehat dan Jumat (20/9) memburuk dengan PM 10 di angka 207, sangat tidak sehat.
ISPU di Pekanbaru diambil dengan melihat rata-rata kualitas udara selama 24 jam dari pukul 15.00 WIB ke pukul 15.00 WIB esok harinya. ISPU juga digunakan sebagai acuan meliburkan anak sekolah karena kualitas udara dinilai sudah tak layak. Pemko Pekanbaru saat ini akibat kualitas udara belum membaik, memberlakukan libur bagi sekolah di semua tingkatan dari PAUD, TK, SD hingga SMP. Libur sudah diberlakukan sejak Selasa (10/9) dan Rabu (11/9), kemudian diperpanjang hingga Jumat (13/9) dan diperpanjang hingga Senin dan Selasa (16-17/9). Lalu libur kembali diperpanjang Rabu dan Kamis (18-19/9) dan terbaru diperpanjang lagi hingga Sabtu (21/9) ini.
Kordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali SH pada Riaupos.co, Sabtu (21/9) menyebut, pernyataan dari Wiranto dan Irjen M Iqbal tidak peka, sudah menyakiti hati masyarakat Riau yang berbulan-bulan menghirup udara kotor akibat kabut asap dan sangat bertentangan dengan sikap Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi).
''Sederhana sebenarnya, kan Jokowi datang kemarin.Dia kan salat minta hujan. Itu artinya apa? Artinya Jokowi sudah minta pertolongan Tuhan agar hujan turun, agar karhutla itu berhenti, itu Presiden lho,'' kata Made.
Dia melanjutkan, Presiden kemudian juga turun ke lokasi karhutla di Kerumutan Pelalawan. ''Dia lihat sendiri lalu dia bilang ini sudah kejahatan terorganisir. Asapnya parah dan sebagainya. Itu saja sudah menggambarkan situasi asap dan karhutla di Riau ini parah. Itu orang nomor satu di republik ini,'' sambungnya.
Wiranto sebut Made seolah masih hidup di zaman Orde Baru dengan menyederhanakan dan menilai masalah karhutla hanya dibesar-besarkan pemberitaan media. ''Barangkali Wiranto itu masih merasakan dia hidup di zaman orba. Semuanya serba baik-baik saja kalau dia sudah turun. M Iqbal itu juga menurut saya tak layak (pernyataannya, red). Orang Polda sudah menetapkan 49 tersangka. Satu koorporasi, lalu ada dua yang mau disidik di Pelalawan. Itu tandanya apa, menggambarkan kondisi Riau sudah gawat,'' tegasnya menyayangkan pernyataan kedua tokoh tersebut.
Belum lagi, kata dia, ISPU dan indikator kualitas udara konstan menunjukkan kategori pencemaran berada di level tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya. ''Kalau mereka mau melihat betul, ya tinggal di Riau agak dua hari aja. Statement mereka berdua itu tidak peka dan tidak layak. Menyakitkan hati masyarakat dan bertentangan dengan instruksi presiden. Dua orang ini dicopot saja. Dengan menyederhanakan masalah dua orang ini sangat perlu minta maaf pada masyarakat Riau. Dengan rendah hati mereka sebaiknya mengundurkan diri lah dari jabatannya. Tidak layak,'' sebutnya.(ali).