PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Kebijakan pemerintah menghapus pajak ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya perlahan mulai berdampak ke harga tandan buah segar (TBS) sawit di Riau. Pabrik kelapa sawit (PKS) mulai membeli TBS dengan harga di atas Rp1.000 per kilogram (kg).
Harga TBS petani swadaya yang dibeli PKS di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) mulai merangkak naik. Sesuai laporan yang disampaikan ke Dinas Peternakan dan Perkebunan Rohul, Senin (18/7), rata-rata PKS membeli TBS kelapa sawit petani melalui tauke atau pengumpul berkisar Rp1.225 hingga Rp1.330 per kg.
Sementara sepekan sebelumya, harga jual TBS kelapa sawit petani swadaya yang dibeli sejumlah PKS paling rendah Rp980 per kilogram. Dalam artian, harga TBS petani yang dibeli tauke atau pengumpul berkisar Rp700 per kilogram.
"Sejak tiga hari terakhir hingga Senin (18/7), harga jual TBS kelapa sawit petani swadaya yang dibeli PKS di Rohul alami kenaikan. Setelah pemerintah tidak memungut pajak ekspor CPO hingga akhir Agustus mendatang," ungkap Tim Monitoring Harga Jual TBS Kelapa Sawit Dinas Peternakan dan Perkebunan (Disnakbun) Rohul Rudi Pasla kepada Riau Pos, Senin (18/7).
"Kita perkirakan ke depan, harga jual TBS kelapa sawit petani swadaya yang dibeli PKS di Rohul akan semakin naik karena kalau sudah lancar ekspor CPO, tentu PKS akan membeli TBS petani sesuai dengan keperluan dan harga yang cukup baik," tambahnya.
Rudi pun meminta seluruh pimpinan PKS yang beroperasi di wilayah Kabupaten Rohul, baik yang telah bermitra maupun yang belum bermitra untuk menyesuaikan harga pembelian TBS kelapa sawit dengan harga yang wajar, adil, dan transparan sesuai perhitungan ketentuan berlaku yang telah ditetapkan pemerintah.
Disebutnya, untuk memudahkan pengawasan terhadap harga TBS kelapa sawit swadaya di setiap PKS yang beroperasi di wilayah Rohul, saat ini belum seluruhnya PKS mengirimkan laporan harga jual TBS kelapa sawit petani swadaya ke Disnakbun Rohul.
"Kita minta kepada pimpinan PKMS se-Rohul untuk mengirim harga jual TBS kelapa sawit petani swadaya yang berlaku di perusahaan setiap hari melalui WhatsApp Disnakbun Rohul dengan nomor ponsel 081371250807," jelasnya.
Dia meminta PMKS se-Rohul tranparansi terhadap harga jual TBS kelapa sawit yang berlaku di perusahaan kepada petani swadaya, sesuai dengan SE Bupati Rohul Nomor 520/Disnakbun-Bun/203. Dengan tetap menyesuaikan harga jual TBS kelapa sawit sesuai dengan ketetapan Pemerintah Provinsi Riau.
Sementara itu, di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) harga TBS milik petani kelapa sawit swadaya bervariasi di tingkat peron. Harga TBS petani swadaya dibeli pihak peron mulai dari seharga Rp 1.100 hingga Rp 1.390 per kilogram.
Bahkan, ada di antara pihak peron yang membeli TBS petani swadaya mencapai Rp1.400 per kilogram. Hanya saja TBS tersebut dipanen sesuai standar perusahaan atau masa panen sesuai standar.
"Alhamdulillah, pekan ini harga TBS merupakan harga terbaik dalam bulan ini. Mudah-mudahan, harga TBS ini kembali normal yang sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kebun," ujar salah seorang petani kelapa sawit swadaya di Kecamatan Rengat Barat, Rudiono (57), Senin (18/7).
Memang sebutnya, persaingan harga TBS di tingkat peron juga sudah mulai terjadi. Hanya saja, perbedaan harga tersebut antar pengusaha peron itu berkisar antara Rp10 hingga Rp200 per kilogram. Sedangkan untuk harga TBS yang dapat mencapai Rp1.400 per kilogram merupakan kebun kelapa sawit dengan lahan yang berada di areal tanah mineral. Kemudian didukung oleh TBS yang matang sesuai standar atau pola perusahaan.
Sedangkan untuk harga TBS di tingkat pabrik kelapa sawit (PKS) mulai dari Rp1.590 hingga Rp1.700 per kg. "Harga TBS di tingkat PKS saat ini masih bervariasi. Namun kami tidak bisa memastikan penyebabnya, walaupun selalu disampaikan akibat harga CPO yang belum stabil," ucap salah seorang pengusaha yang tidak mau namanya ditulis.
Untuk itu pihaknya berharap ada pihak terkait yang dapat mengawasi harga TPS di tingkat PKS. "Pengawasan itu tidak saja mengacu ke harga di PKS tetapi juga minta perbandingan ke kami yang memasok buah ke PKS," harapnya.
Situasi berbeda dialami petani swadaya di Pangkalankerinci, Pelalawan. Kebijakan penghapusan pajak ekspor CPO dan turunannya ini belum memberikan pengaruh positif kepada kepada mereka. "Ya, sejauh ini kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.05/2022, tidak ada pengaruhnya kepada kami petani swadaya," ujar Zulkarnain, salah seorang petani swadaya di Desa Palas, Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan, Senin (18/7). "Pasalnya, hingga saat ini, harga TBS untuk semua usia di tingkat peron, agen atau RAM masih tetap bertahan Rp500 per kilogram. Sedangkan untuk harga TBS petani mitra perusahaan PKS sebesar Rp1.600 per kilogram," tambahnya.
Menurut pria yang akrab dipanggil Atan ini, solusi penetapan harga ini berada pada kebijakan pemerintah pusat. Pasalnya, sejauh ini kebijakan pemerintah daerah hanya bersifat pada anjuran dan imbauan kepada pihak korporasi.
Coba saja kita perhatikan. Sudah berapa kali Bupati turun melakukan sidak ke PKS-PKS di Pelalawan. Tapi sejauh ini, kenyataannya tetap tidak bisa mendongkrak naiknya harga TBS petani swadaya. Hal ini karena Pemerintah daerah tidak bisa memberikan sanksi tegas kepada perusahaan, agen, peron atau RAM karena tidak memiliki kepastian regulasi atau payung hukum. Jadilah, petani swadaya yang harus terus rela menghadapi kondisi seperti ini," paparnya.
Menurut Atan, PMK tersebut merupakan akal-akalan pemerintah pusat untuk mengurangi kerugian besar yang dialami pihak korporasi. "Jadi, PMK oleh pemerintah kepada pihak korporasi ini guna memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk menghabiskan persediaan CPO yang telah menumpuk selama kurang lebih satu setengah bulan. Sehingga korporasi tidak mengalami kerugian besar," ujarnya.
Sementara itu, sambung Atan, sejauh ini pemerintah tidak menerbitkan kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian para petani swadaya. Yakni penekanan dan pemberian sanksi kepada PKS yang membeli harga TBS petani swadaya yang tidak sesuai dengan penetapan harga yang dijalankan oleh pemerintah daerah.
"Untuk itu, kami sebagai petani swadaya berharap pemerintah pusat dapat menerbitkan kebijakan yang menguntungkan petani swadaya dan tidak hanya pihak korporasi. Yakni mengembalikan harga jual TBS petani swadaya dengan harga standar hingga harga seperti sebelumnya. Dengan demikian, para petani swadaya tidak akan mengeluh kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dari hasil panen komoditi andalan nasional ini," tuturnya.
Hal yang sama dialami petani di Siak Sriindrapura. Harga TBS di tingkat petani saat ini masih di bawah Rp1.000 per kg. Sementara harga pabrik berada di angka Rp1.100 sampai Ro1.200 per kilogram. Hal itu diungkapkan Humas Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT Teguhkarsa Wanalestari (TKWL) Dani.
Menurut Dani, harga itu sesuai harga mereka mengambil dari peron. Situasinya menurutnya memang sedang seperti ini. Harga tersebut sesuai harga pasar. "Saat ini kami memang tidak bisa berbuat banyak. Kami ikut harga pasar saja. Dan memang seperti itu saat ini," ucap Dani.
Sementara untuk PT Kimia Tirta Utama, harga buah sawit berada di angka Rp1.100 per kilogram. Demikian dikatakan Administratur PT KTU Hubbal K Sembiring. Sejauh ini tidak ada kendala, namun pihaknya sangat berharap harga dapat kembali normal karena hal itu akan sangat membantu petani. "Saya mengaku prihatin atas hal ini," ucap Hubbal K Sembiring.
Pemilik peron di Jalan Lintas Dayun Irhamsyah membeli buah sawit dari petani dengan harga bervariasi. Rata-rata berada di angka Rp700 sampai Rp900. Sementara dia menjual ke pabrik Rp900. "Rata rata harga masih di bawah Rp1.000. Kasihan saya melihat para petani, terlebih yang punya lahan hanya 1 sampai 2 Ha," sebutnya.
Petani sawit bernama Apri, terpaksa memanen sendiri tandan buah segarnya. Sebab jika harus diupahkan dia tidak mendapatkan apa apa. "Kebun sawit saya hanya 1 hektare. Kebetulan yang biasa membantu saya memanen sedang ada kerjaan, terpaksa saya memanen sendiri," jelasnya.
Harga sawit dijualnya ke peron hanya Rp800. Lelah yang dirasakannya tidak menutupi dari murahnya harga jual. Apri berharap harga buah sawit dapat kembali normal, sehingga dia dapat merasa lega.
Kondisi sama dialami petani sawit swadaya di Kabupaten Kampar yang masih mengeluh karena harga TBS sawit berkisar Rp1.00 per kg. Seorang petani sawit swadaya Desa Gema Kamparkiri Hulu Marzali menjelaskan, sekarang harga TBS sawit swadaya sekitar Rp1.000 per kg.
Harga Rp1.000 per kg ini langsung timbang di kebun. Kebanyakan petani swadaya langsung timbang di kebun jarang menjual ke pabrik kelapa sawit. "Selain harga jual di kebun yang cukup berbeda di PKS. Juga petani swadaya tidak bisa langsung menjual ke PKS harus punya DO dulu. Harga di kebun dengan PKS bisa selisih ratusan rupiah juga per kg," jelas Marzali, Senin (18/7).
Marzali manambahkan, kebanyakan petani swadaya menjual sawitnya ke peron. Sehingga harga sawit di petani swadaya bisa selisih berapa ratus rupiah dengan harga TBS di PKS. Karena orang peron langsung ke kebun para petani swadaya langsung timbang dan bayar di tempat.
"Walaupun ada selisih harga dengan PKS, para petani swadaya tetap saja menjual ke peron karena petani tidak payah-payah lagi menjual sawit," ungkap Marzali.
Sama halnya yang dialami petani sawit swadaya di Desa Kuapan, Kecamatan Kampa Sabar yang mengaku harga TBS sawit di sekitar Rp800 per kg. Semenjak harga TBS sawit ini anjlok, banyak petani sawit swadaya kelimpungan.
"Apalagi banyak kredit di bank yang harus dibayarkan sementara harga TBS sawit anjlok saat ini. Mudah-mudah pemerintah cepat mencari solusi agar harga TBS sawit kembali normal paling tidak Rp2.000 per kg," ungkap Sabar.
Minta Pajak Kelapa Sawit Diturunkan
Di satu sisi, persoalan harga kelapa sawit yang kian anjlok mendapat tanggapan serius dari salah seorangdari Anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Riau, Syahrul Aidi. Yang menjadi penyebab utama anjloknya harga TBS di kalangan petani menurutnya nilai pajak yang terlalu tinggi.
Maka dari itu, ia sendiri meminta agar pemerintah pusat segera menurunkan nilai Bea Keluar (BK) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secepatnya. "Kami minta presiden segera menurunkan nilai Bea Keluar (BK, red) dan PPN komoditas kelapa sawit agar pertumbuhan industri ini kembali menggeliat. Iba kita melihat kondisi petani saat ini," kata Syahrul Aidi, Senin (18/7).
Dia membandingkan nilai bea keluar di negara tetangga Malaysia dan Thailand yang sangat rendah. Malaysia saat ini bea keluar adalah 4 persen. Sementara Indonesia adalah 488 dolar AS per ton. "Belum lagi beban PPN, PBB, dan pajak sejenis lainnya. Jika kondisi ini tetap dilanjutkan, maka industri tidak akan tumbuh, ujung-ujungnya petani juga yang akan terjepit," jelasnya.
Selain penurunan pajak, menurutnya pemerintah juga harus membuka keran produsen minyak goreng kepada BUMN dan BUMD. Khusus BUMD, menurutnya adalah daerah yang memiliki potensi kelapa sawit terbesar. "Banyak daerah yang mampu mengolah sumber dayanya. Namun selama ini terhalang kebijakan dan aturan. Kita ingin pemerintah membuka kran izin ini seluas-luasnya," harapnya.(epp/amn/mng/nda/kas/kom/das)
Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru