Oleh: Bagus Santoso, Mahasiswa S3 Ilmu Politik, Praktisi Politik dan Anggota DPRD Riau
MERAIH kemenangan di medan “peperangan” untuk menduduki jabatan kepala daerah dan legislatif tidak sekedar cukup modal dukungan kursi dari partai politik (parpol). Lebih dari itu jikapun ada jagoan lolos tersebab faktor kedekatan elite parpol atau drop- dropan dari “langit” kekuasaan tingkat pusat maka peluang keok alias kalah lebih tinggi.
Demokrasi semakin matang, saat ini elite parpol sudah ketinggalan zaman jika tetap bertahan dengan pola “jadul” jualan kucing dalam karung. Jangankan yang masih dalam karung, sedangkan di sorong- sorong dan dipajang di “etalase” saja belum tentu laku. Fenomena kemenangan pasangan calon dari kalangan teknokrat , kotak kosong , tumbangnya petahana di sejumlah daerah dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan masyarakat kini sudah semakin kritis dalam memilih pemimpin.
Baca Juga :Relawan Bravo 5 Dukung Prabowo
Pemilihan pemimpin berbasis trah, dinasti atau kekerabatan juga tidak laku lagi. Teknik premanisme, intimidasi bahkan memuntahkaan senjata bagi- bagi sembako mulai tak mempan menembak hati. Rakyat akan mencoblos sosok atau figur pemimpin berkualitas yang dipercayai bisa membawa perubahan pembangunan, pelayanan yang lebih baik.
Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte mengatakan kesadaran memilih figur pemimpin yang berkualitas sudah menjadi tolok ukur bagi masyarakat di sejumlah daerah. Malahan, apabila di suatu daerah tidak ada pemimpin yang dinilai ideal, masyarakat berani secara tegas memilih kotak kosong. Lihat saja Pilwalkot Makassar pasangan Munafri Arifuddin-A Rachmatika Dewi, tak tanggung tanggung di dukung 10 parpol tumbang terhuyung huyung “dihantam” lawan kotak kosong.
Pilkada serentak periode 2018 telah memperlihatkan era baru yakni kemajuan pendidikan politik. Dimana masyarakat mulai sadar bahwa pemilihan kepala daerah, memilih pemimpin sebagai “strongkeng” lampu penerang, maka akan dipilih orang-orang yang punya kemampuan yang dipandang sanggup memberikan servis sosial publik, mendorong transparansi, dan keterbukaan.
Menangnya kotak kosong menurut pandangan kolega saya anggota DPRD Riau Kordias Pasaribu politisi PDIP - bukti kotak kosong lebih dipercaya rakyat. Mengapa karena kotak kosong terbukti “suci” dibandingkan lawannya. Bermakna rakyat butuh figur pemimpin yang bersih layaknya kotak kosong tidak ada cacat dan dosa politik.
Alhamdulillah dapat kita saksikan bersama, secara umum Pilkada serentak gelombang ketiga 2018 masyarakat merasa puas dengan hasil Pilkada. Ukurannya secara sederhana terlihat dari minimnya gejolak atau konflik antara pendukung. Pilgub Riau adalah contoh yang paling sukses, antar pendukung langsung saling berangkulan, mengikuti langkah teladan 3 pasangan jagoannya- dengan hati lapang dada serta mulia menyatakan ikhlas dan mendukung pasangan pemenang. Tak ada keberatan atau kekecewaan sehingga nihil gugatan.