PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Kepolisian Daerah (Polda) Riau memastikan setiap penanganan kasus tindak pidana diproses secara profesional dan sesuai ketentuan perundang-undangan. Termasuk kasus dugaan pengrusakan disertai pengancaman dan pengusiran perumahan karyawan PT Langgam Harmoni yang melibatkan eks Ketua Kopsa M, AH.
Hal itu ditegaskan Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Sunarto menanggapi tudingan salah satu pihak yang menyebut polisi telah melakukan kriminalisasi. Dalam keterangannya, Sunarto menjelaskan urutan penangkapan terhadap tersangka AH, bermula dari adanya kasus pengrusakan serta pengusiran terhadap perumahan karyawan PT Langgam Harmoni oleh ratusan oknum beberapa waktu lalu.
"Dari sana kemudian polisi mendapat laporan dan melakukan penyelidikan serta penyidikan," ujar Sunarto, Rabu (12/1).
Dari hasil penyelidikan sementara, polisi kemudian menetapkan 2 tersangka kasus pengrusakan, pengusiran disertai ancaman. Yakni tersangka Marvel dan Hendra Sakti. Keduanya berperan sebagai koordinator lapangan dan pengarah massa. Bahkan seiring berjalannya waktu, Marvel dan Hendra telah divonis bersalah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang.
Marvel dihukum 1 tahun 8 bulan dan Hendra Sakti dihukum 2 tahun 2 bulan penjara. Dilanjutkan Sunarto, berdasarkan fakta persidangan kejahatan itu bermuara pada eks Ketua Kopsa M, AH. Sebab Marvel dan Hendra menyatakan AH adalah otak aksi penyerangan yang melibatkan 300 preman untuk melakukan pengusiran dan pengancaman terhadap karyawan.
"Dan berdasarkan fakta persidangan diketahui bahwa yang menjadi otak atas kejadian tersebut (Pasal 170 KUHP) adalah saudara AH (Ketua Kopsa-M)," paparnya.
Untuk itu, Sunarto dengan tegas membantah bahwa tidak ada kriminalisasi dalam penanganan perkara tersebut. Penetapan tersangka AH, kata dia, murni karena yang bersangkutan diketahui sebagai pihak yang menyuruh dan membiayai kelompok massa sebanyak 300 orang untuk mendatangi perumahan karyawan PT Langgam Harmoni.
Bahkan, sebelum dibawa dan ditangkap, penyidik telah melakukan dua kali pemanggilan terhadap AH usai ditetapkan sebagai tersangka. Namun, tersangka tidak pernah memenuhi panggilan tersebut hingga diterbitkan surat daftar pencarian orang.
Terkait status perlindungan tersangka AH pada lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK), Sunarto mengatakan bahwa LPSK dapat memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan yang bermaksud bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan.
Ia menjelaskan pelaku kejahatan yang demikian disebut dengan saksi pelaku. Undang-undang menegaskan saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama atau vide Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Faktanya dalam penanganan perkara ini, tersangka AH bukanlah tersangka yang kooperatif. Karena telah 2 kali tidak memenuhi panggilan penyidik. Sehingga jelas secara hukum tindakan penyidik melakukan upaya paksa membawa, menangkap dan menahan tersangka AH, adalah tindakan yang sah," pungkasnya.(eca/nda)