WORKSHOP DEWAN PERS

Liputan Pileg dan Pilpres 2019, Akademis: Media Tidak Cukup Kritis Berikan Pendidikan Politik

Riau | Kamis, 12 September 2019 - 19:28 WIB

Liputan Pileg dan Pilpres 2019, Akademis: Media Tidak Cukup Kritis Berikan Pendidikan Politik
Akademis Universitas Islam Riau(UIR)Dr Fatmawati SIP MM dari Universitas Islam Riau(paling kanan) serta Dr Syariadi SH MHum (tengah) serta Ketua Komisi Bidang Hukum Dewan Pers, Agung Darmajaya(kiri) di Workshop Dewan Pers, Kamis (12/9) di Pekanbaru. foto: Deslina/riaupos.co.

PEKANBARU(RIAUPOS.CO)-  Akademis Universitas Islam Riau  (UIR) Doktor Fatmawati SIP MM dari Universitas Islam Riau dalam makalahnya "Dinamika dan Harapan pada Pers di Daerah" melihat, fenomena yang terjadi dalam peliputan Pilpres dan Pileg 2019 lalu, media tidak cukup kritis memberikan  pendidikan politik pada masyarakat yang heterogen.

Hal ini sampaikan Fatmawati sebagai salah satu pembicara dalam "Workshop Peliputan Pasca Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 yang ditaja Dewan Pers, Kamis(12/9) di Hotel Pangeran Pekanbaru yang dipandu moderator Dr Syafriadi SH Mhum.

Baca Juga :Dekranasda Gelar Pelatihan Membatik

Indikatornya menurut Fatmawati, banyak iklan yang ditayangkan media belum mampu menyentuh menyeluruh dalam memberikan informasi ke masyarakat, terutama di level masyarakat yang punya backround  pendidikan yang tinggi, yang banyak berdomisili di kota.

"Iklan yang ditayangkan kayak ID card saja, identitas diri saja. Dari hasil riset kita, iklan itu tidak cukup memberikan fungsi untuk mencerdaskan masyarakat dari segala lapisan tadi. Untuk warga di perkotaan yang lebih cerdas, tentu mereka butuh sosok yang lengkap calon secara lebih detil," tambahnya.

Bahkan, tak jarang pemberitaan media kadang kala tidak berimbang diantara masing-masing calon. Bahkan calon yang memiliki porsi kekuatan finansial, terlihat lebih dominan dalam promosi dirinya dalam penyebaran ATK, walau itu sudah dibatasi dan diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Lantas dimana peranan pers? Apakah pers sudah terkotak-kotak? Ketika pers dan media tidak lagi membuat  peliputan yang berimbang kepada calon calon yang bertarung, jelas Fatmawati.

"Masyakat seolah-olah dipertontonkan, kalau mau lihat baik calon ini  nonton di media ini, kalau lihat pesaingnya lihat media lainnya. Kondisi yang terjadi di Pemilu 2019," sentilnya.

Workshop dibuka oleh Ketua Komisi Bidang Hukum Dewan Pers, Agung Darmajaya, diikuti sekitar 50 orang dari  perwakilan organisasi wartawan  dan  pimpinan media cetak  serta online,  serta dihadiri  juga Jamaluddin Ihsan, Ketua Komisi Pendidikan dan Pelatihan Dewan Pers, sebagai nara sumber serta Serikat Perusahaan Pers (SPS) .  

Agung dalam sambutannya mengatakan, Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada bulan April 2019, banyak menyisakan berbagai catatan permasalahan terutama dalam soal pemberitaan media masa teknis dan intimidasi yang dialami media. Permasalahan dan intimidasi yang dialami Pers pada pemilu 2019, tentunya menjadi catatan kedepan terutama untuk mengawal janji kampanye peserta pemenang 2019, serta sebagai sebuah evaluasi dalam rangka perbaikan menghadapi Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pada tahun 2020 mendatang.

"Workshop ini sebagai upaya mengevaluasi liputan pada pemilu 2019 di berbagai daerah. Serta dijadikan pelajaran untuk perbaikan pada peliputan menjelang Pemilihan Kepala Daerah secara serentak tahun 2020," urainya.

“Kita ingin kawan-kawan di Riau dapat mengevaluasi liputan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden untuk kedepan, serta menjadi pembelajaran lebih baik pada peliputan Pilkada 2020. Kendala-kendala yang dialami saat peliputan juga akan kita jadikan rujukan perbaikan untuk berbagai pihak. Harapannya,  media kedepan dapat menjalankan fungsi dan peranannya dengan memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada masyarakat. Mulai dari tahapan Pemilihan dan Profil calon sehingga masyarakat memilih dengan rasional," lanjutnya.

Menariknya, ketika  sesi tanya jawab di workshop ini dibuka,  peserta lebih banyak tertuju  bertanya kepada  Dewan pers layaknya curhat, terutama berkaitan dengan masih banyak persoalan yang dihadapi perusahaan media cetak dan online, serta permasalahan hukum yang dihadapi pers dilapangan di daerah.

Diantara permasalahannya, lambannya proses verifikasi sebuah media cetak yang dilakukan dewan pers terhadap media yang belum tervefikasi oleh Dewan Pers, serta persoalan hukum yang dihadapi wartawan kala harus dibenturkan pada UU Pers dan UU ITE.
 

Bahkan lambannya proses verifikasi dengan persyaratan yang cukup banyak ini, seolah-olah dirasakan perusahaan pers kecil sangat membuat mereka terdiskriminasi dalam proses berebut’kue’ di daerah, karena adanya aturan yang di buat pemerintah daerah yang mengharuskan mereka harus terverifikasi dulu di Dewan Pers.

Terkait soal kebijakan pemerintah yang mengharus media cetak harus sudah terverifikasi faktual dulu dari Dewan Pers, Agung Darmajaya dengan singkat mengatakan, ini bukan kebijakan yang dikeluarkan Dewan Pers, tapi lebih kebijakan yang dibuat pemerintah daerah setempat.

" Dewan Pers tidak pernah mengatakan belum verifikasi faktual, tidak boleh ikut kontrak di pemerintah daerah. Jika masih ditolak, karena kebijakan itu, saya siap untuk ditelpon,’’ jelasnya menyejukkan peserta.

Laporan/editor: Deslina

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook