PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Banjir kembali melanda Kota Pekanbaru. Hal tersebut menjadi persoalan penting bagi siapapun. Siapa sangka banjir di Pekanbaru sudah memasuki tahun ke-22, artinya sudah 22 tahun. Kejadian yang luar biasa terjadi pada Juli 1997 dengan kekeringan yang luar biasa. Kemudian diikuti dengan hujan deras. Maka terjadilah banjir dan kekeringan.
Direktur Badan Kajian Rona Lingkungan FMIPA Universitas Riau Tengku Ariful Amri menjelaskan masalah tersebut terjadi karena ketidakseimbangan antara tata vegetasi dan hidrologi. Keseimbangan antara vegetasi penutup, pepohonan dan ditopang dengan kebiasaan buruk yang tidak memperhatikan daerah tangkapan air, maka keseimbangan itu semakin membuat sulit.
Menurutnya di Pekanbaru ada beberapa sungai yang harus mendapatkan penanganan utama. Yaitu Sungai Siak yang merupakan DAS yang amat penting di Provinsi Riau. Karena membuat kondisi ekonomi masyarakat ketergantungan terhadap sungai itu. Selain itu menjadi moda transportasi yang bisa dilayari oleh kapal-kapal besar. “Sungai Siak menampung sekitar 12 anak sungai yang ada di Pekanbaru. Sekarang anak-anak sungai itu sudah menjadi legenda. Hanya tersisa Sungai Sail, Sungai Air Hitam dan beberapa sungai yang mendukung,” terangnya.
Lalu, semuanya menjadi terancam. Salah satunya Sungai Sago yang nyaris menjadi parit. Padahal era 1950-an lebar sungai tersebut mencapai 8-10 meter. Kini lebarnya hanya sekitar dua meter dan airnya nyaris kering.
Penyebab tersebut adalah hilangnya keseimbangan alam terutama di daerah tatanan aliran sungai. Tatanan DAS ini kuncinya adalah hutan DAS dan tersedianya pepohonan untuk menyimpan air pada saat hujan yang amat deras.
“Saya mencontohkan hutan kota di Jalan Diponegoro yang berada di depan Arya Duta, sampai saat ini terpelihara sangat baik. Itu artinya sederas apapun yang mengguyur Kota Pekanbaru, kawasan itu tidak akan tergenang dan tidak menyebabkan banjir,” ucapnya, Rabu (10/4).
Lanjutnya, di sekitar Gedung Wanita, ada kanal atau kolam yang cukup memadai. Namun, setelah Hutan Kota itu masuk ke Sungai Sail menjadikan genangan yang berkuah saat musih musim hujan. Seperti di seputar Jalan Hang Jebat tidak bisa dilewati. Lalu di Tobek Godang dan Cipta Karya.
“Penyebabnya karena daerah tangkapan air itu ditutup dan ditimbun. Yang pada masa musim hujan air itu mendatangi rumah-rumah. Rumah-rumah tersebut teranyata sudah di isi dengan bangunan dan berbagai fasilitas yang tidak ramah lingkungan. Al hasil terjadi genangan dimana-mana,” ucapnya. Oleh sebab itu rusaknya tata ruang mengacaukan semua sistem kehidupan.
Yang kedua, banyak bangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan yang bertumpu pada daerah tangkapan air. Perizinan yang muncul saat ini lebih berorientasi pada keuntungan belaka. Kalau itu yang dikedepankan, pada gilirannya akan memanen masalah. Social cost yang ditimbulkan jadi luar biasa dan menggangu sendi kehidupan.
Pada saat kering orang membakar hutan dan terjadi kabut asap yang mengganggu sistem saluran pernapasan dan dampak lainnya. Pada akhirnya akan menyusahkan manusia itu sendiri.
Di Pekanbaru saat ini mobilitas penduduk tidak kurang dari 1.5 juta per hari. Ditumpu oleh penduduk Pekanbaru yang berkisar 1.2 juta. Lalu 300 orang yang mobile (hilir mudik). Oleh sebab itu 1,5 juta orang akan menimbulkan problematika terhadap lingkungan. Sampah, contohnya.
“Satu orang penduduk bisa menghasilkan 0.5 kg sampai 0.65 kg per hari. Maka jika 1,5 juta penduduk akan menghasilkan 750 ribu kg sampah per hari. Jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah seprti tersumbatnya drainase, menimbulkan bau, sumber penyakit, sarang nyamuk dan lainnya. Tidak hanya di Pekanbaru, namun di seluruh kota besar di Indonesia,” ujarnya.
Sampah plastik sebutnya akan mempersulit semua persoalan kehidupan. Jika masuk ke badan air akan menjadi timbunan dan menghalangi volume air. Lalu menyebabkan sulitnya biota berkembang biak. Yang pada gilirannya ikan-ikan akan sengsara.
“Rantai makanan terganggu karena keseimbangan yang tidak baik. Di samping itu, ada UU Nomor 26 tentang Tata Ruang yang tidak dipatuhi. UU Tata Ruang lebih berpijak pada sisi keseimbangan daerah tangkapan air. Yang mana menggambarkan bahwa kita tidak boleh mengganggu daerah tangkapan air dan harus dikosongkan,” paparnya.
Lalu, jelasnya, jadi tidak lagi melihat bagaimana padat dan sedikitnya penduduk. Tapi lebih kepada keamanan daerah tangkapan air. Jika aman berarti tidak bermasalah.
“Dalam perizinan harus mengacu pada berbagai peraturan yang berlaku. Aturan bisa diawasi jika pemerintahnya peduli. Sudahkah semua aturan yang tertuang dalam UU itu dipatuhi? Sudahkan pemerintah melakukan pengawasan yang utuh Jika banjir dan kekeringan masih beruntun, berarti menggambar tidak peduli dan tidak patuh,” ungkapnya.
Ketiga, pembangunan hari ini tidak lagi memperhatikan ketersediaan air di musim kemarau. Harusnya sudah mulai mengencangkan aturan pemberlakuan sumur-sumur resapan. Sumur resapan harus diperhatikan dan diawsi oleh pemerintah.
“Pemerintah Kota Pekanbaru yang kali ini tersebar kebijakannya dalam beberapa titik. Dari 12 kecamatan yang ada di Pekanbaru, ada kecamatan yang bermasalah seperti Kecamatan Lima Puluh, Sail, Pekanbaru Kota, Payung Sekaki, Marpoyan dan Rumbai Pesisir. Semuanya itu bersentuhan dengan banjir dan kekeringan,” ucapnya.
Lebih lanjut, pada saat kering masyarakat menjerit karena tidak ada ketersediaan air yang layak konsumsi. Pada musim hujan mereka berteriak karena harus mengungsi. Karena timbul berbagai halangan-halangan sepetutnya terjadi jika pemerintah menyiapkan sistem yang standarnya mengacu pada keseimbangan alam. Namun belum dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh pemko.
Ia mencontohkan, Kantor Wali Kota yang sudah dipindahkan di Tenayan Raya. Perlu diingatkan bahwa Tenayan Raya adalah daerah tangkapan air Sungai Siak. Di situ ada Sungai Tenayan yang sekarang menjadi terancam. Karena dengan pindahnya kantor wali kota ke sana dan untuk dinas yang tersedia otomatis ibarat gula semut akan datang. Masyarakat akan mengisi dan memadati kawasan tersebut. Karena terjadi pusat aktivitas yang akan mendorong timbulnya masalah dari keseimbangan lingkungan.
“Pemko tidak menyikapi secara sungguh-sungguh hal tersebut. PR-nya diawali dengan perencanaan yang baik. Kedua, mengisi semua infrastruktur yang berbasis tangkapan air. Ketiga, melakukan pengawasan secara terus-menerus, yang saat ini masih suka diabaikan dan diabaikan. Padahal mencegah lebih baik daripada mengobati,” tukasnya.(*3)
(Laporan MARRIO KISAZ, Pekanbaru)