(RIAUPOS.CO) - Merantau di Kota Pekanbaru sudah dijalani Imin sejak masih lajang. Sudah lebih dari 30 tahun, tepatnya sejak awal taun 1990-an. Mulai dari kuliah, bekerja, dan berumah tangga. Jika awal merantau menumpang di rumah saudara, kini Imin sudah tinggal di rumah sendiri bersama istri dan anak-anaknya. Pekanbaru sudah menjadi tempat tinggal yang tidak bisa ditinggalkan lagi. Rezekinya pun mengalir di kota ini.
Meski sudah puluhan tahun merantau, tapi Imin selalu pulang kampung di Selatpanjang, Kepulauan Meranti. Minimal setahun sekali atau setiap Hari Raya Idulfitri. Apalagi orang tuanya masih ada. Begitu juga dengan keluarga besar orang tuanya yakni kakek, nenek, paman, bibi, sepupu dan masih banyak lainnya. Benar-benar keluarga besar. Saat Idulfitri tiba, proses silaturahmi antara mereka, saling mengunjungi dari satu rumah ke rumah lain, seakan tidak selesai dalam waktu satu bulan. Begitulah.
Ayah Imin lahir di Selatpanjang. Tapi kakek Imin asli Ponorogo, Jawa Timur. Ibunya juga asli Kepulauan Meranti, tapi orang tuanya asli Malaysia. Mereka semua keluarga besar. Menyebar di sepanjang pesisir Riau hingga Negeri Jiran dan Kepulauan Riau. Saking besarnya keluarga Imin, mereka membuat perkumpulan yang diberi nama keluarga besar H Sulai.
H Sulai adalah kakek kandung Imin yang tinggal dan dimakamkan di Selatpanjang. Tapi adik beradik H Sulai tinggal dan dimakamkan di Johor, Malaysia. Imin dan keluarga besarnya hanyalah salah satu contoh tentang masyarakat perantauan di Pekanbaru. Keluarga lain dari daerah lain di Riau atau pun luar Riau, sangat banyak. Pekanbaru memang menjadi kota perantauan sehingga masyarakatnya dikenal dengan heterogen.
Berbagai suku yang berasal dari berbagai daerah ada di Kota Pekanbaru. Bukan dalam hitungan setahun dua tahun, tapi puluhan tahun, bahkan sudah beranak pinak dan bercucu cicit di Pekanbaru. Banyaknya perantauan di Pekanbaru, menyebabkan Kota Bertuah ini selalu sepi saat hari-hari besar tiba. Salah satunya Hari Raya Idulfitri. Perantau semua mudik, toko-toko di sepanjang jalan tutup. Hari besar ini benar-benar menjadi momen berharga bagi mereka untuk berkumpul dan berbagi rezeki dengan keluarga besar di kampung.
Namun, Idulfitri tahun ini sangat berbeda. Pandemi yang melanda, membuat perantau di Pekanbaru tidak bisa mudik. Idulfitri tahun lalu juga sudah ada pandemi, tapi mudik masih diizinkan. Tahun ini, pemerintah benar-benar melarang para perantau untuk mudik. Bukan hanya mudik ke provinsi lain, tapi juga ke kabupaten/kota di Riau.
Keluarga besar H Sulai juga merasakan dampaknya. Bahkan yang asli Siak dengan jarak tempuh 2,5 jam, juga tidak mudik. Mau tidak mau, aturan ini harus ditaati. Selain karena ingin bersama-sama memutus mata rantai Covid-19, juga karena tidak ada jalan lagi; semua jalan pulang di perbatasan dijaga ketat oleh petugas. Ditutup habis.
Sepanjang merantau di Pekanbaru, tahun ini merupakan tahun paling pelik sekaligus menakutkan bagi Imin. Mudik dilarang, perbatasan dijaga puluhan petugas, seluruh pusat perbelanjaan tutup selama tiga hari, bahkan Salat Id juga tidak boleh di masjid, apalagi di lapangan. Hanya boleh di rumah saja. Peristiwa yang tidak pernah terjadi selama ini.
‘’Sedih. Pasrah. Ikut kata pemerintah. Tak mudik kata pemerintah, kami tak mudik. Salat Idulfitri di rumah, kami patuh karena aturan ini bukan sembarang dibuat. Tentu dengan banyak pertimbangan. Apalagi jika niatnya memang untuk kemaslahatan umat, inilah yang terbaik. Semoga berkah. Cukup tahun ini saja Salat Id di rumah. Jangan lagi ada untuk tahun-tahun selanjutnya,’’ kata Imin di Pekanbaru.
Namun, Imin dan keluarga besarnya tak kehilangan akal agar tetap bisa bersilaturahmi saat Idulfitri. Keluarga besar Imin telah membuat grup WhatsApp untuk mengekalkan hubungan silaturahmi yang sudah terjalin selama ini. Penghuni grup ini jumlahnya ratusan. Ada di berbagi kabupaten/kota di Riau khususnya di daerah pesisir seperti Siak, Dumai, Bengkalis dan Selatpanjang. Ada di Malaysia seperti Johor, Melaka dan Kuala Lumpur, dan ada juga di Kepulauan Riau dan Jawa. Ada yang berpangkat datuk, cucu dan cicit. Semua ada dalam grup itu.
Karena sama-sama di perantauan, Imin kemudian menginisiasi untuk membuat silaturrahmi atau pertemuan akbar secara virtual yaitu melalui Zoom Meeting dengan kapasitas 300 peserta. Rencana ini pun disambut baik oleh seluruh penghuni grup WhatsApp. Teknis dan bentuk pertemuan juga dirancang sedemikian rupa.
Halalbihalal secara virtual ini akan dilaksanakan pada hari raya kedua pukul 14.00 WIB. Seluruh peserta diharapkan hadir bersama keluarganya masing-masing di rumah. Setiap keluarga akan diberi kesempatan berbicara, bersilaturahmi dan menyampaikan mohon maaf lahir dan batin paling lama 5 menit. Dimulai dari keluarga paling muda hingga keluarga paling tua. Imin juga sudah menyampaikan agar seluruh keluarga menyediakan waktu dan mencari lokasi yang tepat, khususnya untuk keluarga yang berada di daerah susah sinyal.
‘’Selalu ada hikmah. Selama ini kami pulang ke kampung masing-masing. Untuk keluarga jauh, kami hanya telepon, itu pun tidak semua. Tapi dengan Idulfitri secara virtual atau via Zoom ini, justru kami akan hadir semua. Semua diundang, dan sudah 85 persen sudah menyatakan akan hadir di Zoom. Saya sendiri tidak membayangkan hal ini akan terjadi sebelumnya. Seluruh keluarga di dalam maupun luar negeri akan bergabung. Silaturahmi yang luar biasa. Yang tidak kenal akan menjadi kenal. Yang belum pernah bertemu akan bertemu meski secara virtual. Maklumlah, kalau pangkatnya sudah cucu cicit, sudah banyak yang tak kenal wajah. Ini anak siapa, itu cucu siapa, sudah jauh karena jarak,’’ jelas Imin lagi.
Bukan hanya Imin. Beberapa perantau di Kota Pekanbaru juga melakukan hal serupa. Misalnya Yusnawir. Perantau asal Pariaman, Sumatera Barat ini juga sudah merancang hal serupa. Dia sudah membuat Zoom Meeting dengan kapasitas 100 orang. Dia juga sudah mengomunikasikan kepada seluruh keluarganya yang tersebar di Pulau Jawa, khususnya Jakarta dan Sumbar sendiri. Halalbihalal virtual akan dilaksanakan pada hari raya pertama pukul 15.00 WIB.
Sebetulnya Yusnawir sudah sempat mudik bersama istri dan anak-anaknya, bahkan dengan beberapa keluarganya yang lain di Pekanbaru. Oleh-oleh seperti makanan, minuman, pakaian untuk orang tua, sudah dibelinya. Begitulah semangat mudik yang tak pernah surut saat Idulfitri. Tapi, ketika di perbatasan, petugas menyuruhnya berbalik arah.
Sempat debat dengan petugas, tapi akhirnya menyerah. Sempat juga niat untuk mencari jalan tikus, tapi ragu karena tidak hanya satu pintu yang akan dilewati. Tidak hanya satu petugas yang akan ditemui. Lagi-lagi pasrah. Begitu juga dengan keluarga lain yang merantau di Pekanbaru. Tidak pulang tahun ini, benar-benar pilihan.
‘’Kami sudah di jalan. Oleh-oleh sudah dibawa semua. Bagian atas oto (mobil, red) sudah penuh. Ada kasur juga pesanan gaek awak. Tapi baa lai (bagaimana lagi, red). Tidak bisa lewat. Ah, ya sudalah. Nanti habis Idulfitri saja pulangnya. Karena tidak bisa pulang, kami membuat pertemuan akbar secara virtual melalui Zoom,’’ kata Yusnawir yang sudah hampir 20 tahun merantau di Pekanbaru yang berdagang di Pasar Ramayana.(das)
Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru