PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Aksi penolakan UU Omnibus Law yang dilangsungkan mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) di Gedung DPRD berakhir, Rabu (7/10) petang. Meski sudah diberi kesempatan menyampaikan aspirasi, mahasiswa yang bertahan akhirnya di bubarkan pihak kepolisian. Sebab, selain tidak memiliki izin, aksi demonstrasi tersebut menyebabkan satu orang polisi terluka akibat lemparan batu.
Aksi diawali dengan kedatangan ratusan mahasiswa di Gedung DPRD Riau pada Rabu (7/10) siang. Setibanya di sana, mahasiswa mendesak agar bisa masuk ke dalam gedung untuk bertemu para wakil rakyat. Namun keinginan tersebut tidak mendapat restu pihak keamanan. Sehingga sempat terjadi aksi saling dorong antara massa aksi dengan aparat keamanan di depan pagar DPRD Riau.
Setelah sempat reda, mahasiswa akhirnya meminta agar perwakilan DPRD Riau datang menemui. Keinginan itu terkabul. Di mana, Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto dan anggorta DPRD lainnya datang menemui massa aksi di luar gerbang. Di tengah rintik hujan, Hardianto mendengarkan permintaan mahasiswa agar DPRD Riau turut menyampaikan statemen penolakan terhadap UU Omnibus Law. Namun hal itu tidak bisa dipenuhi dia.
Menurut Hardianto, dirinya mewakili lembaga tidak dalam posisi pengambilan keputusan. Hanya saja, seluruh aspirasi mahasiswa akan ditampung pihaknya untuk kemudian dibahas bersama anggota DPRD Riau lainnya. Setelah itu, dirinya menjamin aspirasi tersebut akan sampai hingga ke tingkat DPR RI atau pusat. Jawaban tersebut tidak diterima mahasiswa. Kericuhan kembali terjadi. Hardianto terpaksa harus diamankan pihak kepolisian ke dalam gedung DPRD untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Hujan masih mengguyur Kota Bertuah. Mahasiswa yang belum puas dengan jawaban Hardianto tadi, masih bertahan di depan gedung. Hingga akhirnya sempat terjadi aksi pendobrakan gerbang DPRD Riau. Polisi langsung mengambil tindakan.
"Adik-adikku tahan. Sabar. Jangan ada tindakan anarkis," ucap Kapolresta Pekanbaru Kombes Pol Nandang Mu’min Wijaya melalui pengeras suara.
Kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Massa aksi sempat tenang dan kembali ke posisi awal. Mahasiswa tetap bertahan hingga petang. Presiden Mahasiswa UIR Noviyanto, yang pada saat itu bertindak sebagai koordinator umum aksi mengatakan, pihaknya akan tetap bertahan hingga keesokan hari.
"Kami meminta statemen menyatakan sikap bahwa DPRD bersama mahasiswa Riau menolak atau mau mencabut UU Cilaka (cipta lapangan kerja, red). Ketika tidak didatangi DPRD, kami akan bertahan hingga besok. Karena tanggal 8 besok (hari ini, red) kawan-kawan kami akan menyusul kami di sini bersama. Akan sama sama kompak datang ke sini menolak UU Cilaka," pungkasnya.
Namun begitu, hingga menjelang Magrib, kepolisian akhirnya mengambil tindakan membubarkan massa aksi karena telah melewati batas waktu. Pembubaran tersebut sebelumnya sudah melalui peringatan yang disampaikan pihak kepolisian. Namun suasana kembali ricuh. Bahkan salah seorang petugas kepolisian sempat terluka karena terkena lemparan batu dari arah massa. Seorang mahasiswa sempat diamankan polisi untuk diinterogasi. Hal itu dibenarkan Kapolresta Nandang Mu’min Wijaya saat berada di lokasi.
"Pada hari ini (kemarin, red) Polresta Pekanbaru melaksanakan pengamanan di gedung DPRD Riau dengan personel yang dilibatkan terdiri dari 1 pleton dalmas awal dan 1 kompi dalmas lanjutan dan BKO Polda 1 kompi dalmas lanjutan," ujar Nandang.
Dijelaskan Nandang, pelaksanaan aksi tersebut sebelumnya tidak disertai izin atau pemberitahuan kepada pihak berwajib. Terlebih pada massa pandemi saat ini. Seharusnya, tidak ada kerumunan massa yang berjumlah lebih dari lima puluh orang. Apalagi, kata dia, Pekanbaru termasuk salah satu kota dengan tingkat penyebaran Covid-19 tertinggi. Meski menyayangkan aksi tersebut, pihaknya tetap melakukan pengawalan terhadap jalannya aksi. Hingga akhirnya, polisi mengambil sikap membubarkan mahasiswa karena tetap bertahan melewati batas waktu yang telah ditentukan.
"Kami sudah mengambil langkah imbauan dan juga kami sudah mempertemukan dengan Wakil Ketua DPRD Riau. Namun setelah selesai, massa tetap bertahan. Kami sudah berikan peringatan sesuai protap dan sesuai SOP yang ada. Hingga tiga kali, kami membubarkan," ucapnya.
Soal adanya anggota kepolisian yang terluka, Nandang membenarkan. Salah seorang anggotanya mendapat luka di kepala setelah terkena lemparan batu. Anggota itu pun sudah mendapat perawatan medis. Begitu juga dengan pengamanan terhadap seorang mahasiswa. Kata dia, pengamanan tersebut dilakukan dalam rangka interogasi atas kericuhan yang terjadi. Namun pihaknya tidak sampai melakukan penahanan dan langsung dilepas pada sore itu.
"Karena mereka sudah dilakukan upaya untuk membubarkan diri, ada satu orang tertinggal jadi kami amankan. Nanti kami lakukan penyelidikan dulu. Sementara sudah kami pulangkan," tuntasnya.
Terpisah, Kapolda Riau Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi kepada wartawan menegaskan pihaknya tidak pernah melarang siapapun untuk menyampaikan aspirasi. Namun begitu, Agung meminta agar masyarakat lebih mengedepankan diskusi serta dialog dalam penyampaian aspirasi. Karena menurutnya, pada situasi pandemi Covid-19 saat ini, sangat tidak memungkinkan dilakukan aksi yang mendatangkan kerumunan.
"Kita harus patuh terhadap protokol kesehatan, di mana ada kewajiban kita menjaga diri kita maupun orang lain. Kita harus pakai masker, jaga jarak, kita tidak berkerumun. Kita tahu dalam protokol kesehatan kita tidak melakukan kerumunan. Jikapun harus, kerumunan harus mendapat rekomendasi satgas pencegahan dan penanganan Covid-19," ujar Kapolda usai bertemu pimpinan DPRD Riau.
Begitu juga dengan Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto. Ia memastikan seluruh aspirasi masyarakat yang masuk ke DPRD akan ditindak lanjuti. Termasuk juga aspirasi penolakan terhadap UU Cipta Lapangan Kerja yang disuarakan oleh mahasiswa. Ia juga membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk membuka ruang dialog dan diskusi dalam penyampaian aspirasi. Karena bagi dia, yang terpenting adalah bagaimana aspirasi tersebut sampai kepada pihak yang berkompeten menindak lanjuti aspirasi tersebut.
"Melalui ruang dialog itulah, aspirasi nya seperti apa kemudian kita buka diskusi. Yang penting aspirasi sampai dan di-follow up. Kalau demonstrasi, tapi aspirasi tidak sampai itu kan percuma. Jadi kami di tengah situasi pandemi saat ini, kami kedepankan konteks dialog yang lebih smooth," tuturnya.
LBH Pekanbaru Sebut Harusnya Urus RUU PKS
Disahkannya Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law oleh DPR RI menuai polemik di masyarakat, khususnya para buruh. Hal itu pun memancing unjuk rasa di sebagian besar Indonesia. Termasuk di Pekanbaru yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) di depan gedung DPRD Provinsi Riau.
Tak hanya itu, UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh pun menyita perhatian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru.
"Kami komitmen dari awal harusnya DPR mengesahkan RUU PKS, bukannya Omnibus Law," sebut Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya kepada Riau Pos, Selasa, (7/10).
Dikatakan Andi, tentunya hak-hak buruh di UU tersebut dihapuskan. Menurutnya ini kerja kebut.
"DPR ternilai sistem kerja kebut sejak Sabtu (3/10) lalu. Terlihat DPR mendengar publik dan tidak partisipatif sebab tidak melibatkan buruh," terangnya.
Lebih dari itu, salah satu dampaknya seperti di lingkungan hidup akan menghapus sanksi pidana bagi kerusakan lingkungan. Namun hanya sanksi denda. "Artinya, ini angin segar bagi perusak lingkungan. Termasuk di Riau yangmana akan menyebabkan kerusakan hutan dan lahan," ucapnya.
Andi sapaan akrabnya pun menyebut, dampak lainnya menghapus pasal kearifan lokal. Bakal dua hektare. Begitu juga tentang Amdal. "Hari ini para pakar, akademisi, tokoh agama pun menolak. Sehingga, siapa yang dikepentingkan oleh DPR. Dikhawatirkan kepentingan oligarki," tuturnya.
Dalam pada itu, ia pun meyayangkan sikap Ketua DPR Puan Maharani. Maka, tidak ada salahnya masyarakat melakukan unjuk rasa. Tentunya dengan demokratif sebab itu adalah hak yang dijamin UUD. "Jika negara menolak mereka aksi, artinya negara telah melakukan pelanggaran HAM," tegasnya.
Disinggung, Puan yang merupakan perwakilan perempuan dan dianggap sebagai wakil daripada perempuan malah menyudutkan perempuan? Andi pun mengaku kecewa dengan sikapnya.
"Mengapa DPR yang diketuai perempuan yang seharusnya mendesak RUU PKS tentang kejahatan sosial, bukan Omnibus Law. Harusnya kepentingan korban kekerasan didahulukan. Namun, tidak mendukung korban yang notabenenya perempuan," tegasnya. (nda/sof)