Pulihkan Daerah Tangkapan Air Waduk PLTA

Riau | Minggu, 05 Januari 2020 - 10:47 WIB

Pulihkan Daerah Tangkapan Air Waduk PLTA
KERING: Beberapa bagian waduk PLTA Koto Panjang tampak kering ketika musim kemarau melanda, seperti yang terjadi pada Oktober tahun lalu. (DOK. RIAU POS)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Waduk  Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koto Panjang memiliki sejarah panjang dengan berbagai dinamika yang menyertainya. Mulai dari penolakan dari Jepang, negara yang memprakarsai berdirinya PLTA, hingga tuntutan penuntasan ganti rugi bagi sejumlah masyarakat di Sumatera Barat yang terdampak olehnya.

Dari pencatatan kronologi yang pernah disusun oleh Walhi beberapa tahun lalu, proyek pembangkit raksasa ini mulai disurvei akhir 1979 oleh perusahaan konsultan asal Jepang. Baru pada 1982 dilakukan survei untuk pertama kalinya oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) terkait potensi dan dampaknya.


Hasil survei saat itu menyebutkan, sebanyak 2.644 rumah, 8.989 hektare kebun dan sawah, 25,3 km jalan negara serta 27,2 km jalan provinsi akan ikut tenggelam bila bendungan dibangun. Waduk itu sendiri akhirnya tetap dibangun. Pembangunan dimulai pada Januari 1993. Masih dari catatan yang sama, waduk PLTA Koto Panjang baru selesai dibangun pada Maret 1996.

Penggunaan kawasan yang kini disebut sebagai Koto Panjang itu baru dimulai secara resmi pada 28 Februari 1997. Harapan besar muncul dengan adanya PLTA Koto Panjang di balik pahit dan besarnya pengorbanan ribuan warga Batu Bersurat, Pulau Gadang, Tanjung Alai, Lubuk Agung, Koto Tuo, Muara Takus, Muara Mahat dan beberapa kenegerian di Kampar serta Tanjung Pauh dan Tanjung Belit di Lima Puluh Koto di Sumatera Barat.

Memang berdirinya waduk PLTA Koto Panjang sangat terasa dampaknya terhadap ketersedian listrik. Tidak hanya bagi Kampar, tapi juga Sumatera. Namun belakangan, satu per satu masalah timbul. Seperti banjir yang terus dialami warga Pangkalan di Sumatera Barat yang notabene tidak dapat ganti rugi dan tidak masuk wilayah rendaman, tapi kena dampak banjirnya.

Sementara bagi masyarakat di hilir waduk, sebelum adanya waduk PLTA Koto Panjang sudah terbiasa berteman dengan banjir setiap musim hujan. Sejak PLTA Koto Panjang beroperasi, banjir tidak sepenuhnya hilang. Bedanya, banjir besar baru akan muncul ketika waduk PLTA Koto Panjang mulai membuka pintu air (spillway) untuk mengontrol elevasi waduk.

Selain itu, pelepasan ini juga untuk membebaskan warga Pangkalan yang biasanya terkena banjir lebih dulu saat elevasi air waduk PLTA naik. Masalah baru muncul ketika permukiman, Perkebunan dan eksploitasi hutan di sekitar catchment area (daerah tangkapan air) waduk PLTA Koto Panjang muncul.

Pembabatan hutan, penanaman sawit dan bentuk eksploitasi lainnya membuat debit air berkurang jauh saat musim kemarau dari kondisi awalnya. Ini akibat hilangnya hutan hijau yang menahan air di sekeliling waduk. Alih fungsi lahan dinilai menjadi penyebabnya.

Terkait adanya alih fungsi lahan di daerah tangkapan air waduk PLTA Koto Panjang, PLN telah mengambil sejumlah langkah reboisasi langsung dan tidak langsung. Mulai dari penghijauan sampai memberikan bibit pohon gratis kepada warga sekitar waduk PLTA, komunitas atau lembaga yang ingin melakukan penghijauan.

Soal keberlangsungan program dan usaha pengembalian kehijauan area tangkapan air PLTA Koto Panjang ini, Manajer PLN Bangkinang Asmardi meminta wartawan bertanya langsung ke Unit Layanan PLTA Koto Panjang. Pasalnya menurutnya, hal itu masih terkait waduk PLTA Kota Panjang, hingga manajer yang berkaitan yang bisa menjawabnya.

Terkati hal ini, Plt Manajer Unit Layanan PLTA Koto Panjang Cecep Sofhan Anwar tidak menjelaskan rinci dampak dari alih fungsi lahan di sejumlah titik pinggir waduk PLTA Koto Panjang. Cecep mengaku hanya bisa bicara data terkait waduk saja.

Dari tahun ke tahun dirinya menyebutkan, memang ada dinamika dari sisi air yang mengalir ke waduk PLTA Koto Panjang. Ada perubahan signifikan dari cara air masuk ke waduk saat musim hujan. ‘’Perubahan itu ada. Memang saat ini air itu cepat masuk ke waduk, biasanya tidak secepat sekarang, tidak sporadis, tapi bergelombang dan naiknya pelan,’’ terang Cecep.

Apakah ini disebabkan oleh kondisi alih fungsi lahan yang banyak terjadi di sekitar waduk? Cecep enggan menjelaskan secara gamblang karena merasa bukan tupoksi dirinya untuk menjawab. Pada musim kemarau, waduk PLTA Koto Panjang sempat mengalami kekurangan debit air hingga turbin penghasil listrik tidak bekerja dengan maksimal.

Namun, menurut Cecep, saat kemarau 2019 masih terkendali. Menurutnya debit air PLTA Koto Panjang saat musim kemarau beberapa tahun terakhir tidak mengganggu fungsi turbin. Menurut Cecep, khususnya selama kemarau 2019 ini, debit air waduk PLTA saat ini masih cukup untuk menggerakkan tiga turbin PLTA Koto Panjang.

Hanya saja, seperti disebutkan sebelumnya, saat musim hujan, air yang masuk ke waduk lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini juga membuat Unit Layanan PLTA Koto Panjang harus membuka pintu spill way lebih cepat untuk mengendalikan elevasi air di dalam waduk.
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook