PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Waduk PLTA Koto Panjang harus disikapi perihal perubahan yang sedang terjadi. Saat ini, saat musim hujan debit air meningkat dan musim kemarau waduk kering. Direktur Kajian Rona Lingkungan FMIPA Universitas Riau Tengku Ariful Amri mengatakan, kedalaman waduk yang berkisar 85 meter itu kini hanya mencapai 40 meter akibat endapan lumpur.
“Endapan lumpur yang terjadi di waduk itu karena erosi. Akibatnya, daya tampung waduk berkurang dan daya simpan air untuk ikan di sekitarnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya,” jelasnya pada Riau Pos Desember 2019 lalu.
Penyebab itu semua, lanjut Ariful, karena hutan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Kampar tidak berperan lagi secara utuh. Dengan demikian, perlu ada konsep konservasi yang berbasis ekosistem DAS.
‘’Caranya mulai dari Muaro Paiti, Sumatera Barat sampai Kuala Kampar itu dibenahi kembali. PLTA Koto Panjang sebagai pasokan listrik tidak hanya untuk Riau tapi untuk menutupi berbagai macam kebutuhan baik Sumbar, Jambi dan Riau sebagai daerah interkoneksi,” jelasnya.
Pasokan listrik yang terkoneksi itu tentunya perlu dukungan bersama stakeholder terkait, terutama pemerintah pusat guna membenahi waduk itu. Sebab harus berbicara DAS Kampar secara utuh. Dengan demikian, perlu ada kebijakan satu pintu.
“Untuk mengatasinya, pertama perlu ada pemetaan kembali terkait DAS Kampar. Kedua, membenahi catchment area atau daerah resapan air yang tidak mengalami alih fungsi lahan (bisa perkebunan, permukiman, hutan-hutan yang kayunya diambil lalu dibiarkan begitu saja, red),” terangnya.
Lebih lanjut, kekosongan daerah-daerah air itu agar dipulihkan kembali. Penekanannya harus ditanam dengan tumbuhan aslinya tidak boleh sesuai kemauan diri sendiri. Katanya, pepohonan harus sesuai dengan yang ada di DAS Kampar lalu dirawat sehingga dapat menyimpan air dan biota serta lainnya.
“Kampar itu kan ada Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Kampar Kiri terganggu karena tambang batubara yang menyebabkan kualitas airnya turun dan Kampar Kanan sebagai daerah hulu sudah ada yang menanam sawit seperti di daerah Muaro Paiti,” ulasnya.
Dengan adanya tambang batu bara menyebabkan batuan yang turun menyebabkan menurunkan PH air dan biotanya akan mati. Sehingga menyebabkan ekosistem keanekaragaman hayati berkurang karena vegetasi terganggu.
“Untuk memulihkannya pun melihat keanekaragaman hayati dan vegetasi harus melihat tempo dulu. Konsep ini harus dikaji satu flanel utuh dari pemerintah pusat. Karena melibatkan dua provinsi baik Sumatera Barat maupun Riau,” ungkapnya.
Sebagai daerah yang berada di tengah, antara bagian hulu dan hilir, maka harus membut kondisi yang damai di bagian hilir dan memberikan kompensasi di bagian hulu yang telah mengamankan sistem DAS secara baik. Menurutnya, pada awal tahun 2000-an air di hulu sempurna dengan PH 7.03. Namun, untuk sekarang PH nya tidak sama.
“Persoalan klasik timbul ketika menyikapi gangguan karena ada masalah. Harusnya kita proaktif. Dari dulu saya menyerukan untuk menghijaukan kembali sesuai vegetasi aslinya, jangan diganggu-ganggu tapi dirawat. Karena pada gilirannya social coast-nya akan mahal ketika banjir dan kekeringan melanda,” tegasnya.
Di hulu, menurut Ariful, ada perkebunan gambir, pinang dan karet. Fungsinya bagi masyarakat untuk melindungi kolam dan sebagainya. Sebab di sana ada kearifan lokal, meskipun memiliki ternak seperti kerbau tetapi tidak rusak alias aman.
Malah, tanaman tetap lestari seperti tanaman bambu yang disebut betung (dipanen secara berkala) sebab tidak memberi NPK di badan sungai melainkam di tambak yang ada di sekitar rumahnya.
“Akibat ketidakdilan dan ketidakpastian serta budaya ikan, menjadi compang-camping dan tidak terkontrol. Perlu adanya pemerintah pusat untuk menghadirkan bersama pengamat kebijakan maupun stakeholder agar DAS pulih kembali sesuai perencanaan yang matang,” tuturnya.(*3)