HARGA TBS TERTEKAN KEBIJAKAN

Minta DMO, DPO hingga Levy Dicabut

Riau | Senin, 04 Juli 2022 - 14:49 WIB

Minta DMO, DPO hingga Levy Dicabut
Ilustrasi (MHD AKHWAN/RIAU POS)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Harga tandan buah segar (TBS) yang saat ini hanya berada pada kisaran Rp1.200 per kilogram membuat petani sawit menderita. Analisis Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), harga TBS ini ditekan oleh sejumlah kebijakan terkait kewajiban pemenuhan keperluan dalam negeri dan ekspor crude palm oil (CPO).

Sekretaris Apkasindo Riau Djono Albar Burhan menjelaskan, saat larangan ekspor dibuka, penjualan CPO diberikan beban-beban yang cukup signifikan. Mulai dari  domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO), hingga pajak dan pungutan ekspor (levy).


Kebijakan tersebut menurut Djono tidak hanya membebani pelaku industri sawit, tapi juga langsung berimbas pada petani. Biaya-biaya itu, menurut Djono, menekan harga CPO. Bahkan ekspor dan levy (retribusi) itu sudah mencapai 575 dolar Amerika Serikat saat ini. Kalau CPO tertekan, kata dia, tentu akan langsung berdampak pada harga TBS di tingkat petani.

"Maka harapan dari para petani Apkasindo,  mohon kepada pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan-kebijakan dan pungutan-pungutan ini. Mungkin dicabut dulu DMO dan DPO hingga harga dapat kembali stabil. Ini sudah dua bulan lebih petani menderita," jelas Djono.

Kondisi harga TBS saat ini sangat menyedihkan. Karena harga  Rp1.200-an per kg tersebut sesungguhnya harga di tingkat pabrik kelapa sawit (PKS). Kalau di tingkat petani, ada potongan rantai suplai  lagi yang membuat harga makin terpuruk.

"Dari PKS ke ram (tempat jual beli TBS hasil perkebunan masyarakat), lalu ram ke petani, ram juga biasanya ke agen. Maka harga di petani saat ini Rp800-Rp900. Katakanlah harga TBS di tingkat petani Rp900 per kg, upah panen sudah Rp150 per kg, upah muat sudah Rp100 per kg, upah jalan Rp200 per kg, maka tinggal Rp450 per kg untuk petani. Kami itu sekarang hitungannya sudah hari ke hari begitu. Itulah kesedihan petani saat ini," kata Djono.

Akibat kondisi tersebut, hampir setiap hari Apkasindo dapat keluhan dari petani di daerah. Pendapatan itu sudah tidak dapat menutupi biaya-biaya hingga menurut Djono petani saat ini mengalami dilema. Jika  tidak dipanen sawit akan rusak. Kalau dipanen malah biaya yang lebih besar dari hasil penjualan.

"Kalau harga saat ini, jangankan untuk mereka memupuk, untuk hari-hari saja tidak mencukupi. Apalagi saat ini anak-anak sedang libur sekolah, tahun ajaran baru dan yang anak akan kuliah sudah dekat waktunya, hingga ada banyak keperluan. Inilah kesedihan yang dirasakan petani, khususnya di Riau," sambung Djono.

Menurut Djono, Apkasindo terus melakukan upaya agar harga sawit kembali pada titik rasional.

Usaha itu bahkan sudah dimulai sejak pertama kali kebijakan larangan ekspor ditetapkan pemerintah. Hal ini guna menyelamatkan sekitar 589.374 petani swadaya di Riau.

"Kami sudah berjuang untuk mencabut larangan ekspor CPO dan Alhamdulillah sudah dicabut, tapi dibebankan dengan biaya-biaya. Kami terus berjuang sampai detik ini. Ketua umum (Apkasindo) sudah beberapa hari masih di Jakarta untuk hal ini. Ketua Apkasindo Riau juga demikian," ungkapnya.(end)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook