Perjalanan mereka yang diceritakan dalam novel kali ini merupakan suatu petualangan yang amat menegangkan. Buyung dan yang lainnya, dikejar-kejar oleh seekor harimau yang kelaparan. Berhari-hari mereka mencoba untuk menyelamatkan diri. Namun, satu persatu dari mereka menjadi korban. Walaupun tidak dijelaskan lokasi persisnya namun novel ini jelas menggambarkan kawasan Sumatera sekitar 1960-an.
Novel dari Mochtar Lubis berjudul Berkelana dalam Rimba, cetakan pertama 1980, Yayasan Obor 2002 juga menyebutkan data sejarah dan budaya hubungan harimau manusia. Antara lain disebutkan pada pertengahan abad ke 19 ada laporan pejabat kolonial Belanda bahwa di Keresidenan Palembang setiap tahunnya sebanyak 1400-1500 jiwa melayang diterkam harimau. Di masa itu sering terjadi desa ditinggalkan penduduknya atau desa yang kehilangan penduduknya.
Citra harimau dalam dua novel karya Mochtar Lubis ini terasa negatif, mahluk yang membahayakan kehidupan manusia dan wajib diburu. Namun ada juga sastrawan yang melihat harimau adalah sekutu manusia. Harimau ditakuti sekaligus juga dikagumi. Begitu juga kebanyakan cerita folklor dan dongeng pengantar tidur seperti Si Kancil dan Harimau menunjukkan bahwa raja hutan ini adalah musuh bersama.
SB Chandra membuat novel Manusia Harimau dan beberapa sekuelnya pada 1970-an. Begitu juga dengan Motinggo Busye (nama samaran dari penulis Bustami Djalid lahir dari orangtua Minangkabau 1937-1999) menulis 7 Manusia Harimau sekitar 1980-an yang sebangun dengan cerita “werewolf” di dunia Barat. Harimau di mata dua penulis ini memberikan kesan tidak selalu menjadi musuh manusia, tetapi juga bisa berbuat kebaikan untuk manusia atau menjadi sekutu.
Terakhir, manusia banyak menggunakan “harimau” atau hal-hal yang berkaitan dengan harimau sebagai perumpamaan bagi manusia, misalnya "harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama" atau "harimau mengaum takkan menerkam." Juga ada, "seperti membesarkan anak harimau", "harimau mati karena belangnya", "mulutmu harimaumu", dan seterusnya. "Rezeki harimau" misalnya, dibidalkan untuk menyebut penghasilan yang tak selalu dapat diperoleh setiap hari alias tidak tetap tetapi dalam jumlah besar.***
Fitriandi SPd MPd, Pengkaji Kebahasaan di Balai Bahasa Riau