Terjadinya deflasi pada Agustus juga tak lepas dari intervensi yang dilakukan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan. Deflasi bahan makanan sebesar 0,67 persen mengompensasi kenaikan administered prices, terutama tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, tutur Kecuk, berhasil menjaga stabilitas harga bahan pangan. ”Tanpa berbagai kebijakan dari Kemendag dan Kementan, harga bahan makanan tentu akan bergerak lebih liar seperti tahun sebelumnya,” urainya.
Karena penurunan harga setelah Lebaran, BPS membantah deflasi pada Agustus lalu dipicu pelemahan daya beli. Kecuk mengungkapkan, daya beli masyarakat tetap tumbuh meski melambat. ”Jadi, bukan karena daya beli rendah dan demand menurun,” imbuh pria kelahiran Blitar itu.
Berbekal deflasi pada Agustus lalu, BPS optimistis target inflasi tahun ini sebesar 4 persen bisa tercapai.
Sementara itu, Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Alexander Sugandi menilai penurunan laju inflasi disebabkan perbaikan struktural pada pengendalian inflasi, khususnya dari sisi pasokan.
Perbaikan struktural terjadi pada sejumlah sektor, terutama logistik, distribusi barang, dan perubahan mekanisme penetapan harga BBM yang lebih berkala. Imbasnya, dampak kenaikan BBM pada inflasi tidak terlalu besar.
Selain itu, stabilnya nilai tukar rupiah pada posisi yang cenderung menguat sejak awal 2016 juga menurunkan tekanan imported inflation melalui nilai tukar. ”Jadi, saya lihat ada perubahan struktural pada pengendalian inflasi dari sisi suplai, bukan karena faktor temporer seperti pelemahan daya beli,” ucapnya.