JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Hilangnya frasa madrasah dalam draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) memunculkan polemik. Banyak tokoh yang mengkritik, utamanya karena menghilangkan penyebutan madrasah sebagai salah satu lembaga penyelenggara pendidikan di Indonesia. Hal itu dianggap sebagai upaya peniadaan peran madrasah selama ini.
Meski begitu, Komisi X DPR belum bisa mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut. Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menyatakan, sampai saat ini, Komisi X belum pernah menerima apa pun, baik draf maupun catatan terkait dengan RUU Sisdiknas. "Mungkin yang beredar saat itu adalah draf yang masih uji coba," kata Dede dalam diskusi di gedung parlemen, Jakarta, Selasa (29/3).
Dia menegaskan, karena draf itu belum masuk ke dewan, yang beredar itu bukan draf resmi. "Kecuali, kalau sudah masuk ke kami atau sudah ada di Baleg DPR, berarti itu sudah resmi yang akan kami perdebatkan," paparnya.
Menurut Dede, sejak 2003, UU Sisdiknas belum pernah diubah. Usianya sudah mencapai 19 tahun sehingga terbuka adanya perubahan. Namun, kata dia, mengubah UU tersebut harus melalui proses yang panjang. "Undang-undang itu mengikuti perkembangan zaman," tuturnya.
Politikus Partai Demokrat itu menuturkan, jika ingin mengubah UU, Kemendikbudristek harus segera melakukan komunikasi publik dengan stakeholder pendidikan. Menurut dia, stakeholder pendidikan bukan hanya komisi X, tetapi juga dunia pendidikan secara umum.
Sementara itu, Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Hilmy Muhammad mengingatkan bahwa ini momentum bagi masyarakat untuk memberikan masukan kepada pemerintah sebelum RUU tersebut masuk dalam Prolegnas DPR RI tahun ini.
"Peluang kepada kita semua segenap komponen masyarakat, khususnya stakeholder pendidikan untuk memberi masukan, kritik, dan saran yang konstruktif demi perbaikannya sebelum nanti menjadi UU," kata Hilmi, Selasa (29/3).
Selain itu, Gus Hilmy juga mengingatkan Kemendikbud agar memperjelas tujuan penghapusan kata madrasah agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Sebab, masyarakat saat ini menafsirkan negatif penghapusan tersebut.
"Apabila semangatnya adalah reunifikasi dua badan penyelenggara pendidikan dalam kerangka penyetaraan perlakuan, pembinaan, dan penganggaran maka itu ide yang bagus dan menarik," kata pria yang juga Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat tersebut.
Selama ini, menurut Gus Hilmy, madrasah sebagai lembaga pendidikan yang kelulusannya dianggap setara dengan SD, SMP dan SMA, tapi masih terasa sekali seperti dianaktirikan, baik dalam hal pembinaan, penganggaran maupun peluang melanjutkan ke perguruan tinggi.
"Akan tetapi bila semangatnya adalah meninggalkan madrasah semakin terbelakang, maka itu namanya tidak fair dan tidak adil. Dan itu yang justru harus kita lawan. Dan sudah terbukti kan dengan UU Sisdiknas 2003, yang di situ disebut madrasah, akan tetapi perlakuannya sama sekali jauh dari setara," tegasnya.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Anindito Aditomo sempat menyampaikan akan memunculkan kembali kata madrasah dalam penjelasan UU. Namun hal ini dinilai kurang memfasilitasi karena dalam UU Sisdiknas 2003 saja, yang madrasah sudah disebutkan sejajar dalam peranannya dengan sekolah, perhatian pemerintah masih kurang apalagi ini tidak disebutkan.(yus/lum/c14/bay/jpg)