JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Anggota Komisi VI DPR Amin AK angkat bicara ihwal adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pelaksanaan program Kartu Pra Kerja. Sebab, BPK menemukan penyaluran bantuan program Kartu Prakerja yang tidak tepat sasaran sebesar Rp289,5 miliar.
Politikus PKS itu meminta agar pemerintah menghentikan sementara program Kartu Prakerja tersebut, hingga adanya pembenahan secara menyeluruh. Misalnya, seperti perbaikan di sistem administrasi, pengelolaan data peserta, maupun penyelesaian hukum atas dugaan pelanggaran dan penyelewengan dana dalam program ini.
"Program Kartu Prakerja sebaiknya dihentikan sementara. Saya mendukung langkah BPK yang meminta Menko Perekonomian untuk meminta pertanggungjawaban Direktur Eksekutif Program Kartu Prakerja atas berbagai dugaan penyimpangan yang ditemukan baik oleh BPK maupun KPK," kata Amin AK kepada wartawan, Kamis (26/5).
Dia mengutarakan, ada sejumlah masalah dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja. Masalah utama adalah pada data penerima.
"Program ini ditargetkan menyasar 9,4 juta orang pencari kerja dan korban PHK. Namun dari jumlah tersebut hanya 1,7 juta orang dinilai bisa menerima bantuan, itupun hanya 143.000 orang yang mendaftar secara online dan terverifikasi," ujarnya.
Selain itu, upaya verifikasi dengan menggunakan fitur pengenalan wajah yang telah menelan biaya Rp30,8 miliar, tidak berjalan baik dan KPK merekomendasikan verifikasi melalui nomor induk kependudukan (NIK). Terdapat potensi kerugian negara akibat tidak berfungsinya sistem ini.
"Sistem dan mekanisme pada program Kartu Prakerja ini terlalu banyak memiliki celah yang bisa digunakan untuk melakukan penyelewengan oleh pihak-pihak tertentu. Sehingga rawan korupsi atau penggelapan oleh distributor dana bantuan," paparnya.
Tak hanya itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menemukan, kerja sama dan kesepakatan dengan delapan platform digital bermasalah dalam mekanisme pengadaan nya dan juga terdapat konflik kepentingan. Materi yang diberikan juga belum terstandarisasi.
"Sistem yang cacat tersebut berpotensi merugikan negara. KPK menilai program pelatihan online diduga fiktif, tidak efektif, dan merugikan negara, serta tidak memiliki mekanisme kontrol."
"BPK menemukan penyelewengan program, mulai penerima yang tidak tepat sasaran, peserta tidak memenuhi syarat, hingga dugaan data KTP fiktif. Potensi kerugian negara mencapai sekitar dari Rp390,32 miliar," pungkasnya.(jpg)