JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Debat perdana pemilihan presiden 2024 tuntas digelar. Atas pelaksanaan tersebut, Komisi Pemilihan Umum menilai jalannya debat cukup menarik. Sehingga ke depannya, format debat akan dipertahankan.
Hal itu ditegaskan Ketua KPU RI Hasyim Asyari. Dia menuturkan, format debat dengan menempatkan 4 dari enam segmen untuk saling sanggah berlangsung baik. Itu terlihat dari jalannya debat yang cukup seru.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan masing-masing capres, membuat orisinalitas pertanyaan terjaga dan sulit ditebak. ‘’Format seperti ini juga akan kita gunakan untuk debat selanjutnya, debat yang kedua ketiga, keempat, dan kelima,’’ ujarnya.
Sementara itu, soal substansi pernyataan ataupun gimmick yang dilakukan capres, dia enggan mengomentari. Sebab itu diluar hak KPU. Baginya, itu ruang bagi pemilih untuk menilai dan mengukur kualitas capres.
Soal evaluasi, salah satu yang menjadi catatan adalah keterlambatan acara. Dari yang semula dijadwalkan pukul 19.00 WIB, baru dimulai pada 19.20. Namun bagi Hasyim, itu masih dalam taraf wajar. ‘’Namanya banyak orang. Harus ada penyesuaian-penyesuaian,’’ tuturnya.
Untuk debat kedua pada 22 Desember sendiri, Hasyim menyebut akan mulai dipersiapkan. Untuk lokasinya, KPU masih menunggu informasi dari pihak penyiaran. Dari sisi KPU, sedang digodok nama-nama panelis. ‘’Sudah ada nama-nama, cuma belum kita pastikan. Kita matangkan lagi sesuai dengan tema yang akan diajukan,’’ jelasnya.
Dalam pada itu, Capres Nomor urut 1 Anies Baswedan mengaku cukup puas dengan jalannya debat. Dia merasa bisa melalui dengan baik. ‘’Tadi seru diskusinya, dan prinsip-prinsip dasarnya saya rasa publik bisa melihat,’’ ujarnya.
Anies berharap, momen debat bisa menjadi kesempatan masyarakat untuk mendengar prinsip, ideologi, cara berpikir yang diungkapkan para calon.
Sementara capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo berharap debat menjadi ruang edukasi bagi masyarakat untuk mengenal para pemimpin melalui gagasan dan programnya. “Para pemilih mendapatkan preferensi dari cara berpikir apa yang ada di konsep atau visi misi masing masing,” ujar Ganjar.
Lebih lanjut lagi, agar masyarakat bisa mengenal lebih jauh pasangan capres-cawapres, suami Siti Atikoh Supriyanti itu mengusulkan agar sesi tanya-jawab diprioritaskan. Bukan soal durasi tetapi porsi.
Menurutnya, ruang tanya jawab harus lebih diperbanyak, sehingga hasil debat bisa menunjukkan apa yang menjadi pikiran, refleksi dan jawaban spontan dari masing-masing pasangan kandidat. “Sesi tanya jawab sangat penting,” bebernya.
Anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Yusril Ihza Mahendra juga mengaku senang dengan jalannya debat. Semua paslon mendapatkan kesempatan setara. “Keliatannya cukup berjalan baik, cukup fair dan masing-masing calon sudah mengemukakan pandangan,” ujarnya.
Sementara itu, dari sisi substansi yang disampaikan, ketiga capres dinilai belum menyampaikan gagasan konkrit. Dari tema HAM, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya menilai debat belum sepenuhnya membahas secara substansial. Salah satu isu HAM yang dimaksud adalah reformasi sektor keamanan dan pelanggaran HAM dalam pembangunan.
Dalam empat menit paparan awal, KontraS menilai ketiga capres tidak menunjukkan komitmen soal arah gerak kemajuan dan peradaban HAM di Indonesia lewat langkah strategis. Pun, visi besar dalam penegakan HAM tidak muncul dalam paran ketiga capres. ”Padahal dalam sistem negara presidensialisme, otoritas kewenangan yang diberikan presiden sangatlah besar,” ujarnya, kemarin.
Terpisah, Peneliti ICJR Johanna Poerba menyampaikan bahwa para capres yang tampil dalam debat perdana di KPU belum semua memperhatikan kondisi demokrasi di Indonesia. Menurut dia, tidak ada paparan komprehensif dari para capres yang menunjukkan kebaruan gagasan terkait dengan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. Karena itu, ICJR menyampaikan beberapa rekomendasi.
Pertama, Johanna menyebutkan, perlu ada komitmen tegas dari pemerintah presiden sebagai bagian dari pembentuk UU untuk melahirkan kebijakan berbasis HAM. Kedua, harus ada komitmen penghapusan aturan hukum yang menghambat demokrasi. ”Misalnya UU ITE yang sekalipun revisi kedua telah disahkan, pasal bermasalah masih ada. Termasuk dalam KUHP baru yang masih menyisakan masalah yang berpotensi memperburuk demokrasi,” bebernya.
Ketiga, Johanna menyampaikan bahwa Indonesia perlu jaminan tidak ada kriminalisasi bagi upaya melaksanakan demokrasi. Menurut dia, makna partisipasi adalah masyarakat sipil harus dijamin dan dilindungi. Keempat, lanjut dia, upaya-upaya tersebut harus dilaksanakan bersamaan dengan edukasi terhadap aparat penegak hukum. Tujuannya agar mereka sejalan dengan komitmen pemerintah terhadap HAM. (far/lum/syn/tyo/jpg)