JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta agar Indonesia tak perlu meniru negara lain dalam memutuskan usia batas capres-cawapres. Hal itu sehubungan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres yang akan segera diputuskan pada Senin, (16/10/2023).
Mulanya, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menjelaskan bahwa di era kepemimpinan Islam yang lalu, pemimpin bermacam-macam usia di berbagai era. Nabi Muhammad SAW misalnya menjadi rasul saat berusia 40 tahun. Sedangkan di era Khulafaur Rasyidin, Usman bin Affan juga terhitung jadi pemimpin di usia yang mulai senja.
"Tapi ada juga yang usianya sangat muda, Umar bin Abdul Aziz itu jadi Khalifah bani Umayyah itu umur 35," katanya kepada wartawan, Rabu (11/10/2023).
Ia juga menjelaskan ada beberapa perdana menteri di negara lain yang usianya cukup muda. Namun, terlepas dari hal itu, Mu'ti menyebut bahwa Indonesia tak harus meniru hal itu.
"Menurut saya Indonesia tidak harus meniru yang seperti itu dalam pengertian apakah tiru Usman, apakah tiru Umar Abdul Aziz, itu kan hanya sekadar referensi saja bahwa siapapun sebenarnya bisa saja tampil memimpin di jabatan-jabatan publik di usia berapapun," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa Indonesia memiliki kultur dan karakter sendiri terkait dengan usia matang pemimpin.
"Indonesia adalah Indonesia dan semuanya tentu harus mengikuti peraturan yang berlaku," tegas Mu'ti.
"Oleh karena itu, ya bagi Muhammadiyah berapa pun usia calon presiden calon wakil presiden tidaklah menjadi persoalan. Yang penting dia punya kompetensi, kemampuan, dan dia punya integritas yang memang tidak kita ragukan untuk menjadi pemimpin bangsa yang sangat besar ini," ucapnya.
Namun begitu, ia menyerahkan putusan soal batas usia capres dan cawapres ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang berhak untuk memutuskan akan lebih rendah dari 40 tahun atau tidak.
"Kami nggak punya otoritas itu, biarlah lembaga yang berwenang memutuskan," jelas Mu'ti.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman