3. Amnesti Baiq Nuril
Kasus Baiq Nuril Maknun sempat menghebohkan publik pertengahan 2019. Mantan guru honorer di salah satu SMA di Mataram, NTB, itu divonis Mahkamah Agung bersalah dalam pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. MA menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Nuril. PK ini memperkuat putusan kasasi MA pada 26 September 2018 yang menghukum Nuril enam bulan penjara, denda Rp 500 juta, subsider tiga bulan kurungan. Nuril dianggap bersalah karena merekam percakapan oknum kepala sekolah di Mataram. Dia dijerat dijerat Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU 11 Nomor 2018 tentang ITE.
Nuril meminta amnesti kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Presiden pun mengirim surat kepada DPR untuk meminta pertimbangan atas amnesti yang diajukan Nuril.
Pimpinan DPR meminta Komisi III DPR membahas permintaan presiden tersebut. Komisi yang membidangi hukum itu menggelar rapat. Mengundang Nuril, maupun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly.
Dalam perjuangannya, Nuril beberapa kali mengikuti rapat di Komisi III DPR. Perjuangan Nuril mendapatkan amnesti berbuah manis. Komisi III DPR memberikan pertimbangan menyetujui pemberian amnesti dari Presiden Jokowi kepadanya dalam rapat pleno, 24 Juli 2019.
Putusan diambil secara aklamasi dari sepuluh fraksi yang ada di parlemen. Dalam pengambilan keputusan, dihadiri enam fraksi. Hasil rapat pleno komisi yang membidangi hukum, hak asasi manusia, dan keamanan itu akan dibawa dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus), Rabu (24/7) malam untuk diagendakan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (25/7).
Baiq Nuril yang mendengar langsung pembacaan keputusan rapat oleh Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsudin tidak dapat menyembunyikan kesedihan dan rasa harunya. Saat Aziz menyatakan Komisi III DPR memberikan pertimbangan menyetujui pemberian amnesti, Nuril tertunduk dan menangis haru
Nuril hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepadanya. “Alhamdulillah, alhamdulillah. Saya hanya bisa bilang terima kasih, terima kasih, terima kasih. Mungkin tunggu besok ya, 25 Juli untuk pembacaan di sidang paripurna. Mudah-mudahan, alhamdulillah,” katanya di gedung DPR, Jakarta.
Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka mengapresiasi putusan tersebut. Rieke tidak lupa mengucapkan terima kasih atas dukungan seluruh rakyat Indonesia maupun Presiden Jokowi. “Terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia, terima kasih kepada Presiden Joko Widodo, yang gigih hingga berkirim surat kepada kami di DPR,” ujar Rieke di gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/7).
Menteri Yasonna menyatakan bahwa Nuril dijerat Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU ITE. Pengadilan Negeri (PN) Mataram, NTB membebaskan Nuril dari segala tuntutan pada 2017. Jaksa melakukan kasasi di MA atas putusan PN Mataram tersebut. MA menerima kasasi jaksa, dan menghukum Nuril pidana enam bulan penjara, denda Rp 500 juta, subsider tiga bulan kurungan. Putusan kasasi itu memantik gerakan penolakan dari masyarakat nasional dan internasional. Antara lain adanya #saveibunuril dan koin untuk Nuril. Akhirnya, Nuril pun mengambil langkah hukum mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Sayangnya, PK itu ditolak MA sehingga memperkuat putusan kasasi sebelumnya.
“Dengan tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh setelah proses pengadilan, Saudari Baiq Nuril Maknun mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden RI,” kata Yasonna dalam rapat.
Menurut Yasonna, mengingat kasus ini menjadi perhatian masyarakat nasional dan internasional, dan setelah pemerintah mendapatkan masukan dari para penggiat pembangunan hukum, praktisi dan akademisi memandang perlu meneruskan permohonan amnesti Nuril untuk mendapatkan pertimbangan DPR.
Yasonna menjelaskan, amnesti secara etimologi berasal dari amnestia yang berarti lupa, atau amnestos yang berarti melupakan. Menurut dia, dalam terminologi hukum pidana amnesti mengandung makna suatu kekuasaan atau kewenangan melepaskan seseorang atau sekelompok orang yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dari sanksi hukum atas suatu tindak pidana tertentu. “Dan akibat dari tindak pidana itu dihapuskan,” tegasnya.
Nah, lanjut dia, secara konstitusional amnesti bisa diberikan oleh presiden selaku kepala negara berdasarkan Pasal 14 Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945. Menurut dia, pasal ini merupakan satu-satunya instrumen hukum yang berlaku untuk pemberian amnesti sebab UUD Sementara 1950 tidak bisa diterapkan lagi.
Dia menambahkan, mekanisme pengajuan amnesti berdasar Undang-Undang Darurat RI Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang mengacu Pasal 107 UUDS 1950 berbeda dengan Pasal 14 Ayat 2 UUD NRI 1945. Mekanisme pertama itu adalah amnesti diberikan setelah presiden meminta pertimbangan MA. Sementara, mekanisme yang diatur Pasal 14 Ayat 2 UUD NRI 1945, amnesti diberikan setelah presiden meminta pertimbangan ke DPR.
Yasonna tidak menampik bahwa dalam proses permintaan amnesti untuk Baiq Nuril, ini masih terdapat berbagai pandangan klasik. Dia mencontohkan, pandangan bahwa amnesti hanya diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan melawan hukum terkait persoalan politik. Namun, lanjut Yasonna, berdasar dua kali focus group discussion (FGD) yang dilakukan bersama para penggiat hukum, praktisi dan akademisi menyimpulkan amnesti dapat diberikan kepada orang perseorangan yang mengalami permasalahan hukum seperti Nuril. “Hal ini secara nyata dikuatkan dalam memori pembahasan amandemen pertama UUD 1945 yang melahirkan Pasal 14 Ayat 2, yang tidak ditemukan kalimat tersurat atau dapat dimaknai amnesti hanya diberikan pada mereka yang terkait permasalahan politik,” ujar Yasonna.
Sejalan dengan itu, lanjut Yasonna, dalam mendudukkan hukum secara responsif, maka persoalan politik juga tidak bisa dilihat sebagai permasalahan hukum karena perbedaan politik, tetapi tapi harus lebih luas dalam konteks pembangunan termasuk kebijakan pembangunan hukum. Menurut dia, program Nawacita Presiden Jokowi berkehendak menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga dengan prioritas antara lain peningkatan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan. “Sebagaimana yang kita saksikan bersama bahwa kasus yang dialami Baiq Nuril Maknun telah menimbulkan simpati dan solidaritas yang luas di masyarakat baik nasional maupun internasional,” jelas Yasonna.
Dia menambahkan, pada intinya masyarakat nasional dan internasional berpandangan bahwa pemidanaan Baiq merupakan upaya kriminalisasi dan bertentangan dengan rasa keadilan. Padahal, kata dia, sesungguhnya perbuatan yang dilakukan Nuril semata-mata melindungi kehormatan dan harkat martabat sebagai seorang perempuan, ibu dan istri. “Dengan demikian maka langkah pemerintah untuk pemberian amnesti kepada Baiq Nuril Maknun merupakan suatu bentuk pelaksanaan butir Nawacita Presiden Joko Widodo dalam melindungi perempuan dari tindak kekerasan,” kata Yasonna.
Akhirnya, Rapat Paripurna DPR, Kamis (25/7) permintaan pertimbangan Presiden Jokowi terkait permohonan amnesti Nuril.
Sepuluh fraksi aklamasi menyetujui surat presiden bernomor R28/Pres/7/2019 tentang Permintaan Pertimbangan Amnesti. Dalam laporannya di Rapat Paripurna DPR, Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Suryani Ranik mengatakan Nuril merupakan korban kekerasan verbal. Menurutnya, apa yang dilakukan Nuril adalah upaya melindungi diri dari kekerasan psikologis dan seksual sebagai diatur dalam Pasal 28B Ayat 2 UUD NRI 1945.
4. Firli Bahuri jadi Ketua KPK
Firli Bahuri, yang saat itu masih menjabat Kapolda Sumatera Selatan dan berpangkat Inspektur Jenderal, terpilih menjadi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023. Selain Firli, ada empat nama lain yang terpilih yakni Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, Alexander Marwata. Tak tanggung-tanggung dalam pemilihan komisioner KPK di Komisi III DPR, Jumat (13/9) dini hari, semua pimpinan dan anggota komisi yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan itu memilih Firli.
Dia mengantongi 56 suara lewat voting. Persis jumlah pimpinan dan anggota Komisi III DPR yang hadir. Pemilihan lima pimpinan dilakukan dengan cara voting oleh 56 anggota serta pimpinan Komisi III DPR yang hadir. Sebelum pemilihan, 10 calon hasil seleksi Pansel Capim KPK diuji kepatutan dan kelayakan. Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya terpilihlah lima nama pimpinan lembaga antikorupsi jilid keempat itu. Nawawi meraih 50 suara, Lili 44 suara, Ghufron 51 suara, Alexander 53 suara dan Firli 56 suara.
Kemudian Luthfi Jayadi Kurniawan 7 suara, Sigit Danang Joyo 19, Roby Arya B, I Nyoman Wara, Johanis Tanak tidak mendapatkan suara. Kejutan terjadi dalam pemilihan ketua KPK oleh Komisi III DPR, Jumat (13/9) dini hari itu. Irjen Firli Bahuri akhirnya dipilih secara aklamasi sebagai ketua KPK periode 2019-2023. Penentuan Firli itu dilakukan setelah para kapoksi dan perwakilan fraksi di Komisi III DPR menggelar rapat.
"Dihadiri kapoksi dan perwakilan fraksi-fraksi menyepakati menjabat ketua KPK adalah pertama Firli Bahuri. Bisa disepakati?" kata Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin.
Semua anggota komisi yang membidangi hukum itu setuju. Sementara, wakil ketua KPK dijabat oleh Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, dan Nurul Ghufron. Penentuan Firli sebagai ketua KPK tidak ada penolakan dari para anggota komisi yang membidangi hukum itu.
Pada 21 Desember 2019, Firli Cs dilantik Presiden Joko Widodo. Pelantikan itu bersamaan dengan dilantiknya lima Dewan Pengawas KPK. Mereka adalah Tumpak Hatorangan Panggabean (ketua merangkap anggota), dan Syamsudin Haris, Albertina Ho, Harjono, dan Artidjo Alkostar.
Saat ini, Firli selain ketua KPK juga merupakan jenderal aktif Polri. Pada November 2019, dia diangkat sebagai kepala Baharkam Polri. Pangkat Firli naik satu tingkat menjadi Komisaria Jenderal (Komjen) atau bintang tiga. Jelang pelantikan atau 6 Desember 201, Firli dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Baharkam Polri. Firli Bahuri lahit di Ogan Komering Ulu, Sumsel, 8 November 1963. Dia pernah bertugas sebagai Deputi Penindakan KPK.